Kamis, 06 September 2012

siklus ini bagai kutukan untuk semua labia


 Di sebuah negeri yang jauh dari teman dan saudara, aku akan bangun sebuah ruang untuk kita. terlepas dari kungungan adat istiadat dan keluarga. Kau mau? Aku akan bangun lebih pagi dan membuatkanmu telur yang paling putih dengan bulatan kuning bersinar, gurih. Kutuangkan susu dan kopi dalam gelas yang berdiri sabar untuk mencium bibirmu. Kubangunkan kau dengan belaian paling lembut yang pernah kau dapat. Tersenyum menyambut pelukanmu. Kita akan makan banyak pagi itu. bercerita tentang mimpi semalam dan menertawakan hal bodoh yang kita lakukan di atas ranjang.


Ketika matahari telah berdiri bangga di tengah langit, kita akan pergi pantai. Menghabiskan sebotol limun dingin dan menceritakan laut yang tak pernah terlihat ujungnya. Lama-lama sampai matahari condong ke barat. Ketika itu bayangan kita muncul di permukaan pasir yang kecoklatan terpanggang matahari dan bau garam itu akan menyedapkan siang. Kau lari ke pondok dan mengambil gitar kayu. Kau bilang kau temukan cara memainkan musik yang kusuka. Kau mainkan nada-nada itu dan memintaku menari. Aku memintamu memainkannya lambat-lambat agar tubuhku bergerak leluasa.  Dan kita tidak sadar, kau tak lagi memeluk gitar tapi tubuhku. Tubuhmu dan baunya berjarak sehelai rambut dari tubuhku. Dan kita bergerak sampai matahari malu memandaingnya. Ia memutuskan tenggelam. Dengan warna merah di balik tarian kita, aku menciummu. Ciuman paling panjang yang akan kubagi. Ciuman yang membuat senja di pantai cemburu. Ciuman yang membuat waktu kehilangan detaknya.


Namun, ketika malam tiba dan bulan bulat utuh naik ke atas langit... kau pergi. Kau titip pesan pada tembok-tembok yang bisu melihat jejakmu di depan pintu.
“aku harus kembali. Hidup dalam kenyataan. Terimakasih atas mimpinya. Denganmu, aku bermimpi tanpa harus tertidur.”

Lalu kau pergi dan sekali lagi aku harus  mengulang melakukan hal itu, mentato tubuhku dengan nama-nama mereka yang menghilang. Rah.

Tidak ada komentar: