Jumat, 29 Oktober 2010

jika lelah marilah bersandar

seratus jam aku terjaga,
menanti suaramu kembali ke udara
seratus jam tanpa henti doa
berharap kau menemukanku kembali

aku merasa kita terlalu lama dalam hening
terlalu larut dalam duka
lupa bagaimana berbincang dan menyela waktu dalam tawa
aku merasa rindu dengan kenangan akan lelucon remeh temeh

seratus jam lagi,
kalau kau perlu aku
aku masih duduk terjaga
dengan doa yang tak berhenti


untukmu,
kesayanganku selalu

Jumat, 22 Oktober 2010

ganas

Dari atas papan kering yang menjadi tempat pembaringan, kuceritakan sebuah jenuh yang membuatmu bersyukur



100 malam lalu, aku masih seorang ksatria
Pemenang dari segala sayembara
Memasuki ruang minum-minum dengan kepala terangkat pongah
Sebab aku tahu aku seorang ksatria
Namun kurang dari 5 malam yang lalu,
Aku harus beradu dengan tubuhku sendiri
Aku menyerah oleh rongrongannya yang memaksa untuk rebah
Aku turuti
Tapi toh ksatria tetap ksatria,
Dalm rebahnya sekalipun.


Kemarin malam
Aku terisak,
Bak perempuan yang menahan pilu aku duduk di pinggir pembaringanku
Menatap keluar jendela
Sambil menyembunyikan tubuh dari angin yang mendera
Gigil
Gigil
Getar
Getar
Tubuhku tak mau diajak kompromi
Detik itu juga
Hilang semua kuat dan gagahku
Aku lebih telanjang dari hewan manapun juga
di malam-malam berikutnya aku terjaga,
Menanti kesembuhan yang tak kunjung tiba
Dengan panas yang menyiksa.
Lebih lagi,
Bahkan untuk berdiri di atas kedua kaki pun aku tak sanggup
Mereka harus memasukan makanan itu ke dalam mulutku untuk kemudian kumuntahkan lagi.
Helaan nafas terasa berat
Mimpi tentang hari esok makin buram
Jenuh
Mati dalam mimpi


Demikian,
Kisah dari tubuh yang kerontang menahan jenuh
Kalian patut bersyukur,sehat itu luar biasa nikmat
Dan nikmat itu hendaknya disimpan baik-baik!

Senin, 18 Oktober 2010

dan mereka menemukan saya,

ada percakapan yang memang harus tinggal jadi kata,
ada percakapan yang berjalan di tempat untuk sebuah kejadian yang fantastis
ada percakapan
dan ada orang-orang
ada kata
ada rupa
mari bercakap-cakap,
tanpa perlu berpikir tentang substansi

Minggu, 17 Oktober 2010

a serie of ends- part 1

bersama dia,
yang darinya kuperoleh energi luar biasa
untuk menjadi dewasa









jalan ini,
biarkan selamanya ...
blur!
mengarah kemana,
aku tak mau tahu.
membawa kepada apa,
biarkan jadi Blur! seperti adanya gambar ini
kita akan lupakan kapan dan kapan

(photograph by nayantaka)

Kamis, 14 Oktober 2010

dan kepadaNya aku memohon

jangan pergi dalam tidur,
jangan pergi sebelum kusampaikan apa yang harus kusampaikan
jangan pergi sebelum kita kembali duduk dan berbincang,
tentang masa kecil yang paling favorit itu
dengan teh dan perangkatnya
duduk menanti televisi mengisi sela-sela bisu di antara tawa

.....

tahan waktu,
jangan renggut dia dalam malam yang pekat
takkan bisa aku mengiringnya pergi,
jika kau culik ia dalam gelap


.....

Tuhan,
berikan usia lagi
belum usai di sini aku tahu
(seperti mimpi di atas kapal perompak ketika kecil,
ia pergi dalam mimpi
dan bertahan 1000 tahun di hidup nyata)

biarkan kulukis wajah yang ramah menyapa itu
dalam ombak-ombak putih,
jangan pergi
engkau wanita yang paling dicinta
amarah itu...
labya dalam sosok yang tidak menyenangkan
dalam tawa yang diganti kalut
merah,
lebih padam warnanya dari kobaran api
sosoknya sekejap tak mempesona
namun membara

amarah itu
ketika labya tidak bersedia membagi cerita
tidak juga tawa
atau dendang
dan tangan tak sudi diikat

labya,
dalam amarah
seperti bergairah di sela-sela duka

Senin, 11 Oktober 2010

untuk sepotong yang tertinggal

terimakasih untuk sepotong yang ini, sayang
kali lain aku memberimu yang lain

Sabtu, 09 Oktober 2010

menghidupkan hidup!

melupakan sama dengan menguapkan apa yang ada,

membiarkan awan pergi berarak


meninggalkan angin di tempat


mengacuhkan bunyian hujan yang serempak


menjauh
menghilang



mengeluh tidak menyembuhkan


memaki tidak memperbaiki


tapi menerima membuat derita lebih ringan seribu juta kali

memaafkan, memberi ruang kepada kita untuk mencintai

maka dengan menguapkan rasa yang mendera,
kita bersedia menikmati hidup

Sabtu, 02 Oktober 2010

seorang ayah tidak pernah melukis duka

ada sebuah rasa duka yang tidak digambarkan ayah pada anaknya,
tidak pula diutarakan apa yang mengganjal hatinya atau memperkeruh muram di wajah.
rasa duka itu cuma dibawanya,
dibawa dalam duduknya di depan teras rumah
sambil memperhatikan hujan yang turun, mengamuk
pisang goreng panas di tangan
tatapan kosong berirama dengan kunyahan pelan
semua adalah pakaian yang menutupi duka dalam hatinya
duka menanti,
menanti kembali anaknya
di ujung jalan yang tak terlihat itu
di balik hujan yang mengamuk.

sambil sesekali berkedip,
ia bergumam di sela-sela kunyahannya yang lambat

"kepada hujan,
meredalah sejenak
biarkan putraku kembali ke rumah ini,
seperti di waktu ia pergi,
pagi itu."