Kamis, 24 April 2014

setelah maghrib lewat

aku melihat drama yang kalian mainkan

(seorang  wanita muda, cerdas dan menarik, berjalan tergesa-gesa di sebuah lorong  ketika gelap mulai datang. dengan buku-buku kesayangan yang dipeluknya ke dada, ia berjalan melupakan orang di sekitarnya. hendak ke mana)

aku menikmati rona wajah bersemu di balik itu semua...

(tak lama setelahnya, seorang pemuda--lebih tua beberapa belas tahun dari perempuan tadi--berjalan santai persis di jalur yang sama. mereka berjalan menuju titik yang sama dengan waktu yang berselang. bedanya, pemuda ini tak tergesa-gesa, tak melupakan dunia. dengan kegagahan yang dipaksakan, ia berjalan sesantai yang ia bisa. mencoba memperhatikan dunia di sekitarnya. hendak ke mana?)

prasangkaku, kalian memainkan drama yang datang dari keliaran imajinasi yang terlalu terburu-buru dikatakan fitnah. aku menikmati bentuk-bentuk drama, dan melihat kalian, aku hidup.

kita tidak tahu mereka berdua pergi ke mana? ke satu tempat yang samakah? kamarnya atau kamarnya? tapi di mata dalam kepalaku, mereka pergi ke sana...

(keduanya masuk ke dalam sebuah ruangan. sama-sama terburu. membagi cemas yang sama. menenteng hasrat yang sama besarnya. masuk. mengunci pintu. dan dengan tak sabar, melucuti topeng masing-masing. keduanya kemudian bergulat dalam ketelanjangan di balik pintu tertutup. yang sampai ke luar hanya suara-suara desahan dan bau keringat yang dibawa angin terbang sampai ke hadapanmu.)

Kamis, 10 April 2014

hal yang paling mewah belakangan ini adalah:

duduk di depan komputer
melihat-lihat kenangan-kenangan lucu
tentang masa yang lucu
mengerjakan pekerjaan lucu
untuk gelar yang lucu
dan menertawakan hal lucu yang rasanya tak begitu lucu seperti dulu
sambil minum kopi susu

dengan rasa senang.

Selasa, 08 April 2014

kadang,
duduk berdua di atas meja makan tidak berarti punya teman ngobrol.
pada selembar kertas palsu di layar komputer,
orang kadang lebih banyak bicara,
walau bahasanya penuh kiasan.

sebab katamu tak semua kata harus dikatakan?
biarlah demikian.

apalah artinya gelar?

suatu saat nanti,
aku akan pergi mengantarkan kalian tidur
dan mendongengkan cerita tentang beruang dan kelinci yang pergi berenang
cerita yang sama yang kalian perdengarkan puluhan tahun lalu.
lalu kalian tidur.

di pagi itu, aku akan berduka
duduk berjam-jam di dekat meja makan.
memandangi kebun yang kalian buat.
mendengarkan percakapan yang tak lagi dekat
dan menghilangkan tangis yang tak mau berhenti.

sebelum itu datang, biarlah kubuat dulu kalian bangga.
walau sekarang semua pelik,
mudah-mudahan kalian bersabar.



i'm sorry old folks

An Ode

sebuah rumah telah dibangun
temboknya bata, dicat putih
jendelanya besar, dicat biru
berlantai satu, tanpa banyak sekat
dapur kecil untuk dipakai makan makanan yang dibeli di luar (katamu takkan kugunakan pula dapur ini)
sofanya empuk, buatan tangan
lantainya kayu yang takkan sakit bila jatuh
dindinginya berupa rak, berderet buku
dan pintu belakang itu menghadap ke kebun kecil
di bawah kebun, di pinggir tebing, pantai menghampar berbatas laut

kita selalu akan pulang pada pikiran-pikiran indah dan kenangan-kenangan manis.
selalu
mungkin itulah gunanya rumah,
tempat kita simpan kenangan dari masa lampau
dan mimpi di kala hidup lebih mudah.

awalnya kita hanya tahu berjalan

Labya pergi ke luar, jalan lurus dari depan rumah, menanjak dengan sandal seadanya. kaki mudanya disakiti kerikil. ia tetap berjalan. pada arah sinar matahari yang telah condong ke barat, ia tetap berjalan.

masuk ke dalam apotik. lalu bertanya:

Labya
"Tuan jual perban?"

pelayan mengangguk. bergerak ke arah rak dengan macam-macam botol berderet. dibukanya satu laci paling bawah di antara rak yang paling kiri. diambil seikat perban dan diukurnya. gunting diambil, hendak dipotong perban itu.

Labya:
"Kalau bisa, saya beli semua. Tuan punya berapa meter?"

pelayan itu menggerakan alisnya ke atas. mengira-ngira. 

Pelayan:
"berapa meter? nona butuh berapa?"

Labya:
"yang cukup membalut ini"

ia menunjukan kakinya yang berdarah karena kerikil. sandalnya telah tiada. copot di tengah jalan.
pelayan itu menggunting perban sesuai ukuran kaki Labya, sisanya diberikan pada Labya. kemudian membantunya membalut luka itu. Labya membayar semua termasuk juga jasa pemasangan perban. lalu ia bersiap pergi pulang.

Pelayan:
"Nona akan pulang dengan kaki begitu?"

Labya:
"ya"

Pelayan:
"Untuk apa diperban sekarang? Nanti luka lagi,"

Labya:
"Tuan tahu... alasan saya pergi ke luar rumah adalah ke apotik ini. membeli apa? awalnya saya tidak tahu. tapi sekarang saya punya alasan. dan kalau sekarang saya pulang, lalu luka lagi, setidaknya saya sudah tahu."

labya melangkah ke luar dari apotik. pelayan itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda tak mengerti. ia ingin mencegah tapi percuma.
Labya jalan lagi. di jalanan yang sama. lurus menurun menuju rumahnya. kerikil yang itu, menyakiti kakinya lagi. perban memerah. dan matahari telah hilang di balik bukit di sebelah barat.

Tuhan Maha Kasih maka Ia juga Maha Pengampun tapi Ia tetap menghitung

people stay no matter what not because they forget but because they forgive.

bahasa Indonesianya:
saya mungkin tidak lupa,
tapi saya memaafkan
maka itu saya dan kamu ada

bahasa kita-nya:
iye gua maafin
*pelukan*ciuman*

bagian tersulitnya bukan memaafkan orang lain...sepertinya.
apalah itu bentuknya memafkan orang?
tapi berdamai dengan isi kepala dan jeritan hati?
wohoho itu beda perkara.
dimulai dari atas ke dalam
maka segala yang di luar (mudah-mudahan) lancar