Sabtu, 13 April 2013

bermimpilah
dengan daya yang masih tersisa
pergi tidur atas pilihan sendiri adalah kemewahan
sebab banyak yang tidur dan tak bangun lagi karena waktu mencuri kesempatan mereka memilih.
jadi, bermimpilah sebanyak kerakusan seorang anak gemuk pada manisan

Rabu, 10 April 2013

saya mau pulang. saya mau pulang. saya jauh dari rumah. jauh dari rentang tanganmu yang hangat menyambut. jauh dari kehangatan yang pertama kali saya kenal. saya mau pulang mau pulang mau pulang. bawa saya jauh-jauh dari dunia yang meminta terus menerus. saya mau pulang, mama...
siapa aku ?


itu bukan pertanyaan karena kita menganut paham tertentu
bukan karena cara berpikir kita sekelas Aristoteles dan geng pemikirnya itu.
bukan
pertanyaan itu ada karena kita telah pergi dan memutuskan hilang
kepulangan kita, mungkin, satu-satunya cara untuk menjawab

terasing di tengah "keluarga"
terasing

(oh. saya rindu pulang.)

Kamis, 04 April 2013

pada sebuah lubang di atas tubuh pohon yang berdiri menjulang,
akan kukatakan semua
tentang sendiku yang ngilu
dan tulangku yang patah
tentang hatiku yang hilang tak pernah kembali
tentang tangis yang tak mau lagi jadi tawa
dan tawa yang selalu berujung pada tangis

jadilah kau demikian
yang bisu menatap kemasgyulanku
dan haru menangkap senyumku
sebab padamu aku menyatakan seluruhnya aku
dan dalam diammu itu,
aku berdamai dengan diriku.
aku bisa palsukan semua jika memang itu yang dibutuhkan untuk tetap ada. kekonyolan ini bukan buatan. ini murni keharusan. memang pernah kubilang, tak ada yang harus di dunia ini. kita bisa pilih, mau atau tidak. tidak perlu menyalahkan keberadaan kata harus.  tetapi adanya manusia-manusia yang menarik garis, merancang dunia, memang suatu keharusan. kalau tidak ada mereka, alangkah lambatnya manusia kelak akan berpikir. garis batas membuat kita terantuk. DUK! setelah terantuk/terbentur/kejedot barulah kita sadar ada garis yang harus diperbesar guna mengamankan kepala yang lain dari benturan. maka ketika tangan-tangan mulai menarik garis baru, memperlebar cakrawala, bangkitlah murka dari pendahulu-pendahulu kita melawan segala kebaruan. berserulah mereka. bersitegang di depan Tuhan. mengatasnamakan kemanusiaan untuk membunuh. menjagal kepala orang demi kemajuan pesat ilmu pengetahuan. Tuhan sirna. di batas cakrawala baru, manusia menang. 

dan itu semua, harus terjadi! harus kubilang. termasuk garis yang bikin orang berdarah itu. namun aku menolak cara keras, dengan darah yang harus tertumpah banyak-banyak. taruhlah aku memang hanya si oportunis tapi bagiku caraku lebih mudah. palsukan saja semua. lalu ikut rayakan kemenangan yang manapun. toh, pikirku, garis baru atau lama semuanya garis. biar orang yang menarik garis baru mengatasnamakan kebebasan, bagiku garis tetap garis. sifatnya lurus dan membatasi. kita tak benar-benar sampai tubuh ini memutuskan tak berpihak. sadarkah kalian bahwa kepalsuanku lebih bebas ketimbang pilihan kalian atas garis-garis itu.
maka kau melarikan diri dari tangkapanku, yang hangat, paling hangat yang bisa kau temukan. bukan pelukan, ini tangkapan. kau larikan dirimu jauh melebihi tiupan angin. sampai kurasa, bayanganmu tertinggal jauh di belakang, tak sanggup mengejar. aku pun kau tinggal lari. diam mematung, menyaksikan bayanganmu jadi kenangan. 
apa rasanya jadi bayangan tanpa tubuh. siapa yang akan dia ikuti kelak.
mengapa kau tak kunjung paham kalau aku menolak mengerti. tak ada kewajibanku untuk ikut merasakan waktu lampaumu yang gegap gempit dan semarak itu, aku tak di sana. dan dari waktu ke waktu kuperhatikan, kau menolak pula paham bahwa aku jelas tak mau untuk tunduk dengan apa yang mereka bilang kompromi. aku tak menaruh kepalaku untuk kau tendang hingga berputar seratusdelapanpuluhderajat, berdarah, dan akhirnya mengalah untuk selalu berada di sana. aku bukan penonton. tak mau menyoraki apapun. aku pemain di atas panggungku sendiri. dengan lakon yang kupilih. dengan dialog panjang lebar besar kecil yang kuatur sendiri. aku berhak menjadi apa yang kumau di dalam gedung pertunjukan yang kebetulan juga milikku. jadi, mengapa kau tak  kunjung paham. sampai letih aku bilang padamu hal itu, dengan pelbagai gejala alam kutitipkan pesan ini, dan kau menolak melihatnya.

jadikan aku air tenang yang mengalir sampai ke hulu. berkelok pasti, indah, menyejukan. 
atau jadikanlah aku angin. yang dengan semilirnya, orang pergi tidur untuk bermimpi.

kau malah menyalakan sumbuku. memadukanku dengan gas dan zat-zat lain yang memercik bara dalam tubuh. aku ini api, jangan kau bakar lagi. tanpa kau nyalakan lagi, aku selalu menyala-nyala. biarkanlah aku beristirahat dalam panasku sendiri. supaya jangan aku merusak apa yang kusentuh.