Sabtu, 23 November 2013

kepada *****,

kamu sudah tidak lagi hangat. tidak lagi akrab. tidak lagi setia. dan saya kecewa.
kamu sudah benar-benar jahat. benar-benar suka bikin luka. dan saya marah.
sudah tidak ada lagi piknik di dalam hutan di dekat danau, dengan pinus di atas kepala dan selimut di antara kaki kita. sudah tidak ada lagi pantai yang kita tuju untuk melihat seperti apa rasanya jatuh cinta di hadapan matahari terbenam.
kita gali sendiri kuburan untuk masuk sama-sama dan membusuk dengan rasa benci.
ah, *****

("saya tidak akan pergi, sebelum kamu pergi dari sana.")
saya rasa kamu sudah muak.
dan itu wajar.
sudah sepatutnya saya terus pakai topeng. kalau tidak, saya benar-benar akan sendiri sebelum waktunya.
saya yang jadi saya itu memuakan. dan kalau kamu muak, percaya, itu wajar.
tunggu ya saya ukir dulu topeng yang kira-kira kombinasi warnanya kamu suka.
oh iya yang seperti itu. iya, saya bikin dulu. dua saya bikin. satu untuk saya. satu lagi untuk kamu. sebab saya dengan topeng ini, perlu kamu yang bertopeng itu.

(lama-lama ini jadi tonil murahan. yang dibawa dari satu kota ke kota lain, hanya karena bisa bukan lagi mau)

kita diamuk rasa benci yang terlalu besar oleh karena cinta yang teramat dalam buat satu hal. lalu lupa kebaikan-kebaikan hal itu. engga apa-apa, manusia sekali itu. memang sukanya pasang label. yang sama dikoleksi, yang tidak... syukur-syukur tidak dibenci.
kan saya sudah bilang, pergilah bertemput. kutunggu di sini. hidup matimu telah kuserahkan pada tanah yang kujaga. biar angin mengantar debu ke kakiku, memberitahuku nasibmu di medan tempur.

Selasa, 19 November 2013

"Jangan pergi... Jangan pulang. Kupaksakan malam tetap lama supaya bisa tuan bertamu. Jangan pergi... .. Jangan pulang, jangan"

Tapi tetap saja, dengan tak peduli ia keluar. Balik badan dari gigil dan gemeletuk tulangku. Sesekali masih menjeritkan namanya, berharap tergerak hatinya oleh belas kasihan pada mahkluk menjijikan yang mengaduhaduh sakit.


Darah, kotoran, dan cairan asam keluar dari seluruh lubang di tubuhku. Katamu kau marah karena tak kuhiraukan tubuhku. (Bahkan darah yang sudah rintik-rintik mengalir di nadiku, beriak mendengarmu.) Tak ada kasih untuk dibagi tuan? Sampai mulutmu pun rasa kematian?


Lalu sekarang tinggal aku dan cairan tak bernama, berbau, dan nyeri dari usaha mengeluarkannya. Tinggal kami, ruang lembab ini memelihara dendamku. Sakit yang ini takkan kubawa lelap. Takkan kulupa. Takkan kutelan. Ia akan ada jadi ruang hampa yang menyengsarakanmu, di antara aku kamu.


Haha.
Masih jelas kuingat rindu yang merontaronta di antara sekarat. Sekarang pun masih merontaronta. Masih sekarat. 


(Jangan pergi... Jangan.../ tapi tetap pergi)
Sakit yang ini pasti kubalas. Pasti

Kamis, 14 November 2013

Marahmarah

Malu banyak merasarasa sedang halhal lain menunggu untuk dipikirkan. Lelah merasarasa sedang hal yang harus dipikirkan membutuhkan lebih banyak energi. Memang, tak semua hal harus dipikirkan tapi tak semua hal juga harus bertautan dengan rasa. Kalau semuanya dirasakan, lamalama habis sudah guna ilmu pengetahuan. Tumpul logika besar emosi.

Selasa, 12 November 2013

jadilah kau perempuan yang berani. biar tak ada pria, kau bisa hidup. tapi jika ingin kau cari pria untuk menemani hidup, carilah yang lebih berani dariku. sebab memilikimu adalah keberanian yang belum tertandingi." -papa

(kalau nanti ada yang bisa bertahan di sisiku bahkan ketika aku jauh,
bersedia menerima segala beda dalam kepalaku
dan menantiku pulang ketika aku tak punya rumah
maka bolehkah ia kusebut pemberani papa?
walau tak bisa menandingi keberanianmu memeliharaku,)
jika nanti aku pergi bermain,
dengan satu dua pria berbeda
jangan remukkan hatimu
dan jangan tangisi pergiku

biarlah kamu tahu aku mencintaimu bahkan ketika aku bebas memilih
sebab ini bukan perusahaan.
aku percaya cinta tak perlu diusahakan ia datang begitu saja
mengamuk dan menerjang

(itu jawabanku ketika kau tanya mengapa begitu suka laut. ia tak diam walaupun bisa. ia dinamis. hasratnya tinggi, bergelora dan muda. namun, jauh di kedalamannya ada bagian dingin yang bahkan tak sanggup direngkuh sinar matahari. bisu jauh dan mematikan. apapun kapalnya, jika sampai pada bagian ini, tinggal kenangan.)

Senin, 11 November 2013

jiwa kita begitu kurus seperti anak-anak di papua barat. tapi kepala kita buncit oleh pertanyaan yang memakan habis semua nutrisi untuk jiwa. kita manusia yang sekarat. sebentar lagi mati tanpa satu pun nikmat dunia pernah benar dikecap. berusaha mati dengan banyak raga hilang. berharap surga dan kesempurnaan menanti.
sudah hidup sekarat. mati pun menderita. sungguh aneh cara kita berlomba-lomba menuai kebajikan dengan berusaha jadi bajingan tengik pemakan bahagia. sungguh aneh cara kita mati, dengan percaya telah berbuat yang terbaik bagi Tuhan dengan membunuh manusia lain. sungguh aneh cara saya menulis, tak ada indah tak bermakna.

mungkin saya terlalu cinta hidup? hingga bagi saya, mati adalah satu-satunya mimpi buruk ketika mata lelap.

bed and pillow 2

"carilah maka kamu akan menemukan."

kepala saya diputar ke beberapa tahun silam, ketika saya dibaptis kedua kali secara kristen. ketika itu saya mengerti dan mau. berbeda dengan yang pertama, saya dibaptis atas dasar kemauan orang tua dan keluarga besar saya. maka dalam tubuh saya, saya katolik sekaligus kristen protestan. saya pikir apalah bedanya menjadi seorang katolik dan seorang kristen?

"jangan salahkan gereja, salahkan manusianya." kata katolik yang budiman itu.

saya tidak sedang menyalahkan apapun dan siapa pun. saya menyayangkan perbedaan yang tercipta justru bukan untuk menjadi padu melainkan beda sama sekali.

saya akan berhenti di sini tentang beda kristen protestan (dan kristen jenis lain) dengan katolik (yang baru saya tahu tak lagi punya embel-embel kristen di depannya melainkan 'roma' di belakangnya). basi, panjang, bertele-tele, dan  tak penting. sama seperti meributkan warna laut, biru atau biru muda.

karena setiap kita dijanjikan untuk menemukan apa yang dicari, melihat apa yang ingin dilihat, dan mendengar apa yang ingin didengar maka sebenarnya tak ada kebenaran yang sejati. sebab, semua orang punya pengalaman yang tak mungkin sama dengan yang lain. jika ada yang sama, maka mereka menjelma satu komunitas. dan satu komunitas dengan komunitas lain kembali lagi membuat perbedaan. bertengkar lagi tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. pusing.

tugas adam yang pertama adalah menamai setiap ciptaan di taman firdaus. adam, nenek moyang manusia, dari awalnya telah ditugasi memberi nama untuk tiap unsur kehidupan. tidak heran saya, kalau sekarang manusia hobinya kasih label sana sini.
"oh dia kristen soalnya salibnya ga ada patungnya."
"oh dia katolik soalnya bawa puji syukur."
"oh dia hindu soalnya tinggal di bali"
"oh dia islam soalnya pakai sarung."

semacam apa ya, pengkotak-kotakan. bhineka tunggal ika itu bohong. itu slogan paling utopis. manusia itu sukanya cari teman, teman yang sama kayak dirinya sendiri. yang beda, dinamai sendiri. belum tentu dimusuhin, tapi dilabeli 'beda'. tidak usah mencemooh saya karena bilang begini, saya juga suka begitu. tidak usah tersinggung kalau ada yang tanya "agamamu apa?" itu lumrah, wajar, dan sama sekali bukan cari gara-gara. memang sudah sifat dan tugas utama kita untuk bikin nama buat orang lain. yang penting mau mengakui, sudah.

pertanyaan saya?

apa kamu mau terus maksa kepercayaanmu untuk dipercaya orang lain? sudahlah. setiap manusia memang ditakdirkan untuk mencari, ketemunya beda-beda. mudah-mudahan semua menemukan surga bagi dirinya masing-masing. kalau surga mereka berbeda dengan surgamu, jangan dipusingkan. bukan egois, tapi saya rasa kalau semua merasa bertanggung jawab untuk maksain umat manusia masuk ke surgamu, apa terus dunia jadi damai?

ada tertulis:
datanglah kerajaanMu di bumi seperti di dalam Surga

ya, jelas. itu buat kamu pegang teguh. bahwa hidup yang semu dan fana ini juga harus diusahakan sebaik-baiknya. apa gunanya kamu diciptakan di dunia kalau cuma untuk numpang lewat lalu kembali lagi ke neraka? hidup yang semu dan fana ini tempatnya manusia mencari dan menemukan. jangan dipaksa, kamu bukan tuhan. nyaris pun tidak. hahaha

untuk orang Katolik yang budiman, saya mungkin telah berbohong semalam. tentang keimanan dan perilaku baik saya. saya bejat dan rusak moralnya (kalau orang Timur yang lihat). saya makan babi, minum bir, bercumbu, dan gemar berdosa. jadi, yang semalam itu hanya teori kehidupan yang baik yang saya percaya. praktiknya, belum tentu sama. tidak apa ya. setidaknya, saya berusaha jujur kalau saya sudah tidak lagi pegang tradisi katolik. saya tidak percaya berdoa pada santo santa. saya tidak lagi percaya berdoa dengan tepuk tangan ala kristen protestan. tidak lagi bersenandung lagu rohani.

(tuhan, saya kecewa. besar-besar bulir kekecewaan yang mengalir bersama darah dalam tubuh. pahit rasanya mengingat janjimu. dan luka itu belum juga kau sembuhkan. tuhan, saya kecewa. dan untuk sementara waktu, entah kapan, saya pasti akan berdiri bersebrangan denganmu. tuhan, tolong saya. bantu saya untuk tahu bahwa hidup memang mosaik yang tak pernah sempurna. saya mencariMu tuhan dalam setiap tangis kebencian pada mereka yang mengolok-olok. saya mencariMu tuhan dalam setiap ketidakpercayaan saya. saya mencari dan menunggu untuk menemukan/... [ditemukan]).

bed and pillow talk 1

"pada akhirnya, setiap kita harus berusaha jujur. tentang kejujuran itu adalah satu-satunya yang paling hakiki dimiliki semua manusia. tanpa adanya usaha untuk mewujudkan kehakikian manusia, sebenarnya kita telah mati. dan lama sebelum kita mati, kita menderita dalam tipuan, muslihat, topeng, dan yang terbesar kemunafikan." 
saya

(semalam)
seorang katolik budiman mengajak saya novena maria. saya menolak halus. kata saya "biarlah saya berdoa sendiri malam ini". padahal sejujur-jujurnya saya sudah lama sekali tidak duduk untuk berdoa apalagi sendiri berdoa. saya berdoa ketika ada yang berulangtahun, itu pun saya tak tahu saya berucap doa apa. saya berdoa ketika keluarga saya mengajak berdoa malam, atau ketika hendak pergi, atau hal-hal spesial lainnya, saya berdoa. mengucap beberapa baris permohonan dengan banyak kata 'Tuhan' di sela-selanya. saya berdoa seperti itu. oleh karena itu, ketika seorang mengajak saya berdoa novena Maria, saya harus berbohong untuk mulai jujur. saya menolak, itu kejujuran karena saya memang tidak mau berdoa novena Maria. saya bohong ketika saya utarakan alasan ingin berdoa sendiri.

(lalu kami duduk, saya baring dan ia duduk menghadap saya bertanya-tanya)
"baru kali ini ada orang menolak ketika diajak berdoa bersama"

kita, kau dan saya, berbeda. itulah mengapa saya membiarkanmu berdoa sendiri dan saya sendiri. bukan menolak. membebaskan. namun, katolik budiman ini tetap bersikeras menginterograsi saya. mungkin jiwanya yang spiritual tak mau memahami penolakan saya. mungkin jiwanya yang terlalu katolik, tersinggung. saya tak mau berdoa pada Maria.

(singkatnya...)
"kamu atheis sekarang?"

saya tergelak, guling-guling di tempat tidur karena pertanyaannya. sebenarnya saya mau bilang, kalau iya kenapa. tapi itu namanya bohong. saya percaya Tuhan dan bagi saya cerita di Alkitab masih jadi pedoman hidup. jadi kalau saya bilang atheis, selain memicu konflik dengan orang katolik budiman ini, itu juga akan memicu konflik dengan diri saya sendiri.

"tidak. hanya saja, saya punya cara sendiri untuk berdoa"
yaitu dengan tidak berdoa, tidak ke gereja, dan tidak lagi pusing soal Alkitab. ya, itu kejujurannya. kejujuran praktis. tapi dalam kepala saya, prosesnya berbeda. maka yang keluar,

"saya punya cara sendiri karena saya hidup di keluarga dengan banyak cara berdoa. ayah saya berdoa dengan berlutut, melakukan tanda salib, terpejam, dan khidmat mengikuti doa-doa di buku Gereja. ibu saya lain lagi, ia berdiri, bertepuk tangan, berteriak-teriak, membaca Alkitab keras-keras, dan terkadang sama sekali tak punya jadwal acara beribadah. jadi, saya, sebagai anak, harus pilih cara yang mana? saya pilih cara saya sendiri. tidak katolik, tidak protestan, tidak karismatik, tidak."

(dan kalau setelah perdebatan semalam, keimanan saya berkurang, maka terkutuklah otak saya yang membiarkan mulut saya berbicara indah tentang perbedaan. )

Sabtu, 09 November 2013

Maka berkirimkirim dukalah kami melewati malam
Jejak yang tak sama lagi, pelan hilang.

(Dalam gelap tak ada jalan)

Sesekali aku datang melamun dan mengadu pada rembulan
Sejauh itukah jalan yang kita tempuh hingga tak ada lagi hasrat? Ke mana perginya rindu yang selalu ada dibungkusnya rapi untukku? Oh, dimakan belalang rupanya. Pada musim kemarau, ketika daun semua meranggas.
(Karena tak ada daun, digerogotinya rindumu yang ranum)