Jumat, 29 Maret 2013

aku mau jadi kamu ah. yang tak peduli pernah ngomong apa. lalu tarik kembali ludah. tarik lagi tai. tarik lagi semua yang pernah keluar tanpa malu orang akan bilang apa. eh tapi ngga jadi ah. jadi kamu itu banyak gak enaknya dan ga ada enaknya sama sekali. jadi kamu itu sama kayak alat penghisap debu, makanannya kotoran keluarnya pun kotoran. malu ah.
dan kata siapa anak perempuan tidak boleh aktif?

aku mau mengajakmu kencan
naik kereta
ke toko buku
beli pizza
minum bir
merokok di taman
menggambar
dan tidak lupa bertukar cerita tentang sinar matahari

sabtu ini,
bagaimana?


hanya saja
katanya,
kalau anak perempuan terlalu aktif,
kami jadi membosankan.
transparan dan tak misterius.
kataku sih anak laki-laki yang kelewat banyak ide soal kreativitas itu melelahkan.

jadi bagaimana kalau begini,
kau terima ajakan kencanku dulu
lalu minggu depan aku tunggu ajakanmu.

pelukmesra
selamat malam, 
kekasihku.
rasanya malam ini pun,
kita belum pantas bercumbu...
ketika ibadah berubah jadi panggung teater
dan pemuka agama sibuk mengurusi laku
sulit membedakan yang rohani dan jasmani

ketika ritual mengalahkan spiritual
aku terlempar jauh dari bangku yang berdesakan

(katanya universal? kok. lho. kok gitu)

Kamis, 28 Maret 2013

just a kiss

sepertinya bayangan hari depan yang ceria bersamamu
selamanya membayang
makin jauh dari wujudnya
jauh menjauh hingga warnanya hilang di balik sinar

aku menginginkanmu untuk terus begitu
menginginkanmu yang dekat lekat tanpa sekat

di malam Yesus membagi tubuh dan darahnya
aku menjelma anak kecil meminta remah
supaya jangan tubuh dan darah itu lalu
tettapi kita dapat bagian di dalamnya,

kamu tahu,
mereka pun bisa tetap beda
yang satu menginginkan dua
yang padu ingin bercerai berai

tapi Yesus,
di malam ia dikhianati
ia menginginkan murid-muridnya tetap satu
dan menjaga tokoh pengkhianat itu dalam benaknya

biarlah beda kita bertumbuh
dan semoga ia bukan pengkhianat
yang mencium mesra untuk membunuh,

per ka wi nan

untuk malam ini,
segala beda jadi nyata
bahkan yang kupikir satu,
jelas beda
kita dicipta katanya dari satu sumber dan bermuara kembali padanya
jadi kupikir,
persoalan satu atau beda itu bukan soal
tapi ternyata soal
karena beda tetap beda.

air dan minyak selamanya akan jadi air dan minyak.

jalan kita tak kunjung usai

mendaki dan memaki,
maka si begundal itu berhenti.
dirasanya jalan makin terjal
dan puncak menjadi hal mustahi.
dimakinya lagi gunung itu,
lalu dirinya.
si begundal itu merasa bodoh telah menerima ajakan kawannya. pergi bertualang ke gunung. panjat gunung.
tahu apalah begundal ini. sudah tak pandai, lemah pula fisiknya.
di kalangan akademis,
dialah tokoh manusia yang jongkok di pinggir kantin, merokok, sendirian, menunggu hujan reda, berharap bisa langsung lari setelah hujan lebat melunak jadi gerimis.
katanya, hujan gerimis itu manis. begundal bodoh sok romantis. akibat menunggu hujan melunak, ia habiskan waktu menguapkan isi kepalanya. bengong-bengong. sementara kawan-kawannya mulai membaca, mulai diskusi, mulai mengkritik, lalu mulai bertengkar dan bunuh-bunuhan. begundal ini tetap jongkok di pinggir kantin, memantati evolusi kehidupan manusia yang lama kelamaan menuju kepunahan.
seorang kawannya yang berhasil lolos dari pertarungan di meja belakang, datang menghampirinya dengan senyum buas yang puas.
ditepuknya bahu begundal yang tak simetris. begundal nyaris jatuh. tak ada gravitasi pada tubuhnya. atau justru terlalu banyak?

"hey, kawan! ayo, ikut naik gunung!"
"buat apa?"
"kita naik gunung saja. di sini bosan. lihat, orang sudah main tusuk-bunuh-bacok-bunuh lagi, ayo pergi sebelum kita ikut digasak."
"ah, buat apa?"
"lari, kawan. lari!"
"begini pun aku senang. menunggu hujan aku."
"apa yang kau tunggu dari hujan. setelah reda ia, tinggal tunggu saat yang tumpah ke bumi, kembali lagi ke atas kemudian bocor lagi jadi hujan."
"aku tak tunggu reda, aku tunggu ia sedikit melunak."
"gerimis?"
"ya. itu manis katanya."
"di gunung pun banyak gerimis."
"sungguhan?"
"lebih sungguh-sungguh dari penantianmu ini."
"ikutlah aku!"

maka si begundal ini turut kawannya ke gunung. namun, karena ia terlalu banyak bengong dan jauh dari buku, otaknya tumpul. ia tak bawa yang harusnya dibawa ke gunug. ia tak tahu kontur alam. ia tak tahu bisa makan buah yang mana. jadilah ia di sana, mendaki yang tak terdaki. memaki yang tak pernah benar peduli.
aku mulai ikut berdialog.
bertanya jawab dengan isi kepalaku sendiri
menjelma jadi orang asing di tubuh yang kutumpangi
menjelma jadi komunitas
menjelma pemerintah
menjelma agama dan instituti 
dialog kami panjang rumit dan bertele-tele
dialog kami dimulai dengan tanya
dijawab dengan tanya lain
dibalas lagi dengan tanya
terus begitu sampai kami akhirnya bertanya-tanya
apa guna bertanya?

tapi inilah kita, aku kamu manusia
pada hakikatnya gemar berceramah
kalau tak bisa bicara di hadapan banyak muka
maka diri sendirilah umatnya
umat yang tuli bebal dan keras bukan main


(dan apa itu kebenaran? jika memang ada kebenaran, kurasa tanya telah lama punah. titik. selesai)