Kamis, 28 Maret 2013

jalan kita tak kunjung usai

mendaki dan memaki,
maka si begundal itu berhenti.
dirasanya jalan makin terjal
dan puncak menjadi hal mustahi.
dimakinya lagi gunung itu,
lalu dirinya.
si begundal itu merasa bodoh telah menerima ajakan kawannya. pergi bertualang ke gunung. panjat gunung.
tahu apalah begundal ini. sudah tak pandai, lemah pula fisiknya.
di kalangan akademis,
dialah tokoh manusia yang jongkok di pinggir kantin, merokok, sendirian, menunggu hujan reda, berharap bisa langsung lari setelah hujan lebat melunak jadi gerimis.
katanya, hujan gerimis itu manis. begundal bodoh sok romantis. akibat menunggu hujan melunak, ia habiskan waktu menguapkan isi kepalanya. bengong-bengong. sementara kawan-kawannya mulai membaca, mulai diskusi, mulai mengkritik, lalu mulai bertengkar dan bunuh-bunuhan. begundal ini tetap jongkok di pinggir kantin, memantati evolusi kehidupan manusia yang lama kelamaan menuju kepunahan.
seorang kawannya yang berhasil lolos dari pertarungan di meja belakang, datang menghampirinya dengan senyum buas yang puas.
ditepuknya bahu begundal yang tak simetris. begundal nyaris jatuh. tak ada gravitasi pada tubuhnya. atau justru terlalu banyak?

"hey, kawan! ayo, ikut naik gunung!"
"buat apa?"
"kita naik gunung saja. di sini bosan. lihat, orang sudah main tusuk-bunuh-bacok-bunuh lagi, ayo pergi sebelum kita ikut digasak."
"ah, buat apa?"
"lari, kawan. lari!"
"begini pun aku senang. menunggu hujan aku."
"apa yang kau tunggu dari hujan. setelah reda ia, tinggal tunggu saat yang tumpah ke bumi, kembali lagi ke atas kemudian bocor lagi jadi hujan."
"aku tak tunggu reda, aku tunggu ia sedikit melunak."
"gerimis?"
"ya. itu manis katanya."
"di gunung pun banyak gerimis."
"sungguhan?"
"lebih sungguh-sungguh dari penantianmu ini."
"ikutlah aku!"

maka si begundal ini turut kawannya ke gunung. namun, karena ia terlalu banyak bengong dan jauh dari buku, otaknya tumpul. ia tak bawa yang harusnya dibawa ke gunug. ia tak tahu kontur alam. ia tak tahu bisa makan buah yang mana. jadilah ia di sana, mendaki yang tak terdaki. memaki yang tak pernah benar peduli.

Tidak ada komentar: