Kamis, 11 September 2014

lubang di pohon





untuk kamu yang rindu,

Rabu, 28 Mei 2014

seribu (dan) terima kasih

kawan yang baik,
yang rajin membuka untuk
1. membaca lalu
2. diarahkan oleh google yang secara acak mengambil keyword yang kamu tulis
3. ingin tahu saja saya bicara apa
4. mencari bahan tertawaan tentang kesalahan berbahasa atau kegagalan sy yang lain
5. mengisi mata

selamat tinggal. semangkuk kata-kata sudah terlalu banyak menampung kata. saya pikir, rasanya mulai tidak karuan. sudah tidak enak, kawan. marilah kita ganti piring dan ambil makanan baru dari tempat lain. tempat ini sudah tak lagi muat menampung imajinasimu yang liar (atau kesepian saya yang makin mencekik). baiklah kita balik mangkuk ini dan berlalu darinya.

terima kasih untuk seribu pos yang sudah kamu ikuti. saya berhenti. semoga kamu tidak. sampai jumpa.
jangan lekas puas.
hidup saya sepi begitu tanpa kalian. tapi saya sadar, monolog ini harus berhenti. kata-kata mulai tidak berguna. otak makin dangkal. tak ada guna lagi interaksi di sini. semoga ada yang kangen. kalau tidak pun, tidak apa. mangkuk ini di sini. kalau-kalau lapar.

selamat tinggal

saya melihat kembali,
cerita di sini sudah tidak lagi menghibur.
ya?
tidak lagi banyak dan berwarna-warni.
tidak lagi begitu menarik untuk terus-terus dibaca.
ah,
kamu tidak akan butuh lagi cerita dari saya. banyak yang bicara bagus-bagus dan semuanya berwarnawarni.
pergilah,
sudah sy izinkan jauh sebelum kamu minta.
apalah gunanya kata kalau mereka hanya disalahartikan dan tak dipergunakan dengan baik. baiklah orang bicara begini untuk maksud yang benar begini. dan janganlah, mereka bicara begini untuk menyatakan begitu. pada orang-orang yang sempit akalnya dan cepat meledak-ledak ini, mereka tak mengerti. apalah gunanya kata kalau tak juga dapat meredam marah? apalah gunanya kata kalau hanya meremukan tulang? apalah gunanya kata kalau ketiadaannya ikut membawa pergi sukaku? apa gunamu dan kata-kata hebat dalam kepala, kalau tak ada orang jadi lebih pandai mengerti?

jadi,
apalah gunaku dan kataku yang banyak dihasilkan di sini?
Terakhir

Sementara itu, di ujung telepon tadi, suara perempuan masih sibuk mengulang kalimat yang sama.
“nomer yang anda tuju tidak dapat dihubungi silakan hubungi beberapa saat lagi...”

Berulang kali sampai bunyi tuuuuuuut panjang menghabisi rindu yang tak pernah sampai.

( November 2012
pernah dipublikasikan di Majalah Gaung)

Ampas Teh

Bagian Keempat

“ia tidak bisa lama-lama menelepon. Nanti dia akan telepon lagi kalau sudah senggang. Katanya salam untukmu.”

Perempuan itu dengan syahdunya mengirim pelukan rindu lewat doa yang terlafalkan di bibir. Suaminya senang melihat istrinya lega. Istrinya lega mendapat kabar rindu dari anaknya. Senang dua kali karena suaminya sudah senang sekarang. Mereka berdua kini punya banyak hal yang akan dibicarakan sambil duduk menghabiskan waktu senggang. Anak mereka.

Ampas Teh

Bagian Ketiga

“teleponlah. Rindumu tak kenal kata percuma, kan?”
Seperti tersengat, laki-laki itu mengambil telepon dan menekan deretan nomer di atasnya. Ketika saat yang paling ditakutkan datang, menunggu jawaban, ia hanya bisa menatap perempuan di depannya. Dan detik itu juga, rasa manis yang sesaat tadi  hilang entah ke mana, kini telah kembali dengan kadar yang lebih banyak. Meluap-luap hingga tak mungkin ia tak tenggelam di dalamnya.
Istriku ini orang baik. Aku suka lupa, dia pun rindu. Kami sama-sama rindu. Aku dengan egoisnya menyisihkan ia, merindu dua kali lebih banyak. Ah, biarlah, biar ia tahu aku pun ada untuknya.
Sesaat kemudian, suara laki-laki ini terdengar meluncur semangat. Cepat-cepat namun berkali-kali. Ada percakapan. Perempuan ini senang dan lega sekaligus. Akhirnya, penantian suaminya tiba juga. Anak laki-laki mereka yang belajar di luar kota bisa mengangkat telepon dari rumah. Sudah lama sekali ia tak pulang. Sudah banyak sekali kata rindu dikeluhkan suaminya. Hingga ia sendiri sedih karena tak mampu mengurangi rindu yang menyayat-nyayat pikiran suaminya. Kini nafasnya ringan setelah tahu suaminya mendapat apa yang selalu dicari di pagi hari, di siang hari, di sore, di waktu makan malam, di waktu sepi menunggu kantuk, bahkan saat telah sangaat mengantuk.
“ya.. ya.... kamu baik-baik ya. Ya, baiklah nanti ayah sampaikan. Hati-hati.”

Percakapan singkat itu berhenti. 

Ampas Teh

Bagian Kedua

Suaranya bergetar. Suara serak yang selama 25 tahun lebih dipaksa kuat. Kini mereka meluncur tanpa malu jadi lemah.  perempuan itu meletakan tangannya di atas lengan laki-laki di hadapannya. Ia juga ingin bisa menyenangkan laki-laki ini. ia cari-cari lagi di mana dulu gairah yang selalu ada di wajah itu perginya? Laki-laki ini dulu begitu bercahaya. Pagi pun kalah segar dibanding air mukanya. Selalu ada kehidupan yang ia alirkan lewat tatapan mata. Bagi perempuan ini, keberadaan wajah itu, tatapan itu, telah cukup kuat untuk memeluk mereka semua jadi keluarga. Kini, yang tersisa hanyalah batu retak yang siap hancur kapan saja.
Ia ulurkan telepon pada laki-laki itu. dengan wajah pasti memintanya menerima. Laki-laki itu hanya bisa diam dan mengamati gerakan di hadapannya. Haruskah ia balas? Bolehkah ia sekali ini meluncur hancur jadi manusia renta kehilangan semangat?
“teleponlah... coba sekali lagi. Dua kali lagi kalau perlu.”
“percuma, takkan ada yang mengangkat.”

Perempuan ini Cuma bisa ikut sedih mendengarnya. Ia tak kalah rindu. Rindunya lebih luas dan dalam. Namun, seperti laut, yang lebih dalam biasanya lebih tenang. Ia simpan rapat kecemasannya untuk menabung ketenangan bagi pria di hadapannya. Digerakannya sekali lagi tangannya. Kali ini sedikit memaksa.

Ampas Teh

(tulisan lama yang harus ditaruh di sini)

Bagian Pertama
“halo...”
Lalu suara itu ditelan lagi. Menunggu beberapa saat sebelum akhirnya putus jadi helaan nafas. Perempuan yang datang bertanya sambil memberikan cangkir yang penuh dengan air teh.
“tidak diangkat lagi?”
Laki-laki itu menggeleng. Tangannya menyapu rambut putih di atas kepala. Ingin rasanya ia benamkan rambut-rambut itu dalam air teh, berharap supaya warnanya lebih cerah. Ia berkaca pada imajinasinya sendiri. Tentang betapa tua, betapa lusuh, betapa lemah ia telah menjadi manusia kini. Berdua dengan perempuan yang sedikit lebih muda kelihatannya, mereka menghabiskan waku dengan air teh yang mengalir lancar di tenggorokan.
Di waktu-waktu kosong begini, teman mereka hanyalah kudapan, teh atau kopi, suara jam yang harus diputar tiap berhenti di angka 6 atau 12, suara kaki diseret malas, gesekan alat makan, dan siaran tv yang kehilangan selera untuk dilihat. Jarang ada tawa. Kata pun sedikit-sedikit meluncur. Itupun kalau ada yang benar-benar perlu dikomentari.
Laki-laki itu menatap perempuan yang duduk di hadapannya. Ia berusaha menikmati manis yang masih tersisa di usia menuju malam itu. dikenangnya senyum yang pernah begitu sempurna menghias. Ia ingat ketika ia dulu sekali berhasil membawa perempuan ini naik ke pelaminan. Ia merasa telah menjadi laki-laki paling luar biasa. ia tidak hanya menenun masa depannya, ia juga mengajak tangan lain menenun benang-benang itu jadi gambaran luar biasa. namun, ia tak pernah bayangkan, mereka berdua kini harus bersabar dengan kesepian. Setelah lewat sudah masa-masa sulit membesarkan buah cintanya, mereka harus bisa kembali lagi ke masa semua dilakukan berdua untuk berdua. Tapi, ah, tapi... mereka tak muda lagi. Dan sisa manis yang bisa ia kecap dari perempuan di hadapannya telah habis disembunyikan keriput.

“aku kangen”

Kamis, 24 April 2014

setelah maghrib lewat

aku melihat drama yang kalian mainkan

(seorang  wanita muda, cerdas dan menarik, berjalan tergesa-gesa di sebuah lorong  ketika gelap mulai datang. dengan buku-buku kesayangan yang dipeluknya ke dada, ia berjalan melupakan orang di sekitarnya. hendak ke mana)

aku menikmati rona wajah bersemu di balik itu semua...

(tak lama setelahnya, seorang pemuda--lebih tua beberapa belas tahun dari perempuan tadi--berjalan santai persis di jalur yang sama. mereka berjalan menuju titik yang sama dengan waktu yang berselang. bedanya, pemuda ini tak tergesa-gesa, tak melupakan dunia. dengan kegagahan yang dipaksakan, ia berjalan sesantai yang ia bisa. mencoba memperhatikan dunia di sekitarnya. hendak ke mana?)

prasangkaku, kalian memainkan drama yang datang dari keliaran imajinasi yang terlalu terburu-buru dikatakan fitnah. aku menikmati bentuk-bentuk drama, dan melihat kalian, aku hidup.

kita tidak tahu mereka berdua pergi ke mana? ke satu tempat yang samakah? kamarnya atau kamarnya? tapi di mata dalam kepalaku, mereka pergi ke sana...

(keduanya masuk ke dalam sebuah ruangan. sama-sama terburu. membagi cemas yang sama. menenteng hasrat yang sama besarnya. masuk. mengunci pintu. dan dengan tak sabar, melucuti topeng masing-masing. keduanya kemudian bergulat dalam ketelanjangan di balik pintu tertutup. yang sampai ke luar hanya suara-suara desahan dan bau keringat yang dibawa angin terbang sampai ke hadapanmu.)

Kamis, 10 April 2014

hal yang paling mewah belakangan ini adalah:

duduk di depan komputer
melihat-lihat kenangan-kenangan lucu
tentang masa yang lucu
mengerjakan pekerjaan lucu
untuk gelar yang lucu
dan menertawakan hal lucu yang rasanya tak begitu lucu seperti dulu
sambil minum kopi susu

dengan rasa senang.

Selasa, 08 April 2014

kadang,
duduk berdua di atas meja makan tidak berarti punya teman ngobrol.
pada selembar kertas palsu di layar komputer,
orang kadang lebih banyak bicara,
walau bahasanya penuh kiasan.

sebab katamu tak semua kata harus dikatakan?
biarlah demikian.

apalah artinya gelar?

suatu saat nanti,
aku akan pergi mengantarkan kalian tidur
dan mendongengkan cerita tentang beruang dan kelinci yang pergi berenang
cerita yang sama yang kalian perdengarkan puluhan tahun lalu.
lalu kalian tidur.

di pagi itu, aku akan berduka
duduk berjam-jam di dekat meja makan.
memandangi kebun yang kalian buat.
mendengarkan percakapan yang tak lagi dekat
dan menghilangkan tangis yang tak mau berhenti.

sebelum itu datang, biarlah kubuat dulu kalian bangga.
walau sekarang semua pelik,
mudah-mudahan kalian bersabar.



i'm sorry old folks

An Ode

sebuah rumah telah dibangun
temboknya bata, dicat putih
jendelanya besar, dicat biru
berlantai satu, tanpa banyak sekat
dapur kecil untuk dipakai makan makanan yang dibeli di luar (katamu takkan kugunakan pula dapur ini)
sofanya empuk, buatan tangan
lantainya kayu yang takkan sakit bila jatuh
dindinginya berupa rak, berderet buku
dan pintu belakang itu menghadap ke kebun kecil
di bawah kebun, di pinggir tebing, pantai menghampar berbatas laut

kita selalu akan pulang pada pikiran-pikiran indah dan kenangan-kenangan manis.
selalu
mungkin itulah gunanya rumah,
tempat kita simpan kenangan dari masa lampau
dan mimpi di kala hidup lebih mudah.

awalnya kita hanya tahu berjalan

Labya pergi ke luar, jalan lurus dari depan rumah, menanjak dengan sandal seadanya. kaki mudanya disakiti kerikil. ia tetap berjalan. pada arah sinar matahari yang telah condong ke barat, ia tetap berjalan.

masuk ke dalam apotik. lalu bertanya:

Labya
"Tuan jual perban?"

pelayan mengangguk. bergerak ke arah rak dengan macam-macam botol berderet. dibukanya satu laci paling bawah di antara rak yang paling kiri. diambil seikat perban dan diukurnya. gunting diambil, hendak dipotong perban itu.

Labya:
"Kalau bisa, saya beli semua. Tuan punya berapa meter?"

pelayan itu menggerakan alisnya ke atas. mengira-ngira. 

Pelayan:
"berapa meter? nona butuh berapa?"

Labya:
"yang cukup membalut ini"

ia menunjukan kakinya yang berdarah karena kerikil. sandalnya telah tiada. copot di tengah jalan.
pelayan itu menggunting perban sesuai ukuran kaki Labya, sisanya diberikan pada Labya. kemudian membantunya membalut luka itu. Labya membayar semua termasuk juga jasa pemasangan perban. lalu ia bersiap pergi pulang.

Pelayan:
"Nona akan pulang dengan kaki begitu?"

Labya:
"ya"

Pelayan:
"Untuk apa diperban sekarang? Nanti luka lagi,"

Labya:
"Tuan tahu... alasan saya pergi ke luar rumah adalah ke apotik ini. membeli apa? awalnya saya tidak tahu. tapi sekarang saya punya alasan. dan kalau sekarang saya pulang, lalu luka lagi, setidaknya saya sudah tahu."

labya melangkah ke luar dari apotik. pelayan itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda tak mengerti. ia ingin mencegah tapi percuma.
Labya jalan lagi. di jalanan yang sama. lurus menurun menuju rumahnya. kerikil yang itu, menyakiti kakinya lagi. perban memerah. dan matahari telah hilang di balik bukit di sebelah barat.

Tuhan Maha Kasih maka Ia juga Maha Pengampun tapi Ia tetap menghitung

people stay no matter what not because they forget but because they forgive.

bahasa Indonesianya:
saya mungkin tidak lupa,
tapi saya memaafkan
maka itu saya dan kamu ada

bahasa kita-nya:
iye gua maafin
*pelukan*ciuman*

bagian tersulitnya bukan memaafkan orang lain...sepertinya.
apalah itu bentuknya memafkan orang?
tapi berdamai dengan isi kepala dan jeritan hati?
wohoho itu beda perkara.
dimulai dari atas ke dalam
maka segala yang di luar (mudah-mudahan) lancar

Rabu, 19 Maret 2014

Apa kita tak berbahasa satu?

Apakah aku yang terlalu bodoh menjawab pertanyaanmu atau kepalamu yang tak tertuju padaku hingga tiap jawabku kau tandaskan saja dengan anggukan. Di mana kita dapat berinteraksi jika kupingmu tak ada di sini, di sampingku yang berkatakata.

Ini tanya setelah malam malam kita tak bertemu dalam diskusi yang membuat otakku orgasme. sebab kukatakan, ini bukan cinta yang timbul ketika mata pertama kali berpandangpandangan, ini cinta (kalau benar demikian adanya) yang kusiangi tak peduli waktu dengan ketekunan menyaksikan kemegahan pikiranmu memperluas milikku. Ini sebuah hubungan senggama antara isi otakku dan otakmu yang harus kulampiaskan dalam ciuman panas di tengah hujan deras yang mengguyur. Ini rindu yang takkan sembuh dengan sekadar gambar muka di memori perangkatku. Jadi ini bukan sekadar romantisme kilat yang tak butuh kau dengar dan pahami.

Aku perlu ruang, di mana kita duduk bertukar pikiran dan kau mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku lebih suka kita berakhir dengan amarah ketimbang kau menulikan telingamu atas ucapanku.

Aku tak perlu rasa iba dan dada untuk bermanjamanja, aku butuh kekagumanmu atas apa yang kupikirkan dan tak kau temukan di lain tempat.

apa janganjangan aku telah jadi kanakkanak perempuan yang riang gembira dan  manis dan dan... Dungu?


Selasa, 18 Maret 2014

Tuhan Maha Adil

nona manis, siapa yang punya?

ternyata eh ternyata, lirik lagu ini bikin si nona menangis meraung-raung di pojok ruangan. masalah orang manis, cantik, dan indah... semua mau punya. si nona tidak suka. kenapa nona tidak suka? padahal banyak yang suka nona,

" dipikirnya aku vas bunga. siapa boleh punya. dipikirnya aku balon, yang punya boleh pegang erat-erat sampai meletus."

ternyata oh ternyata, nona manis tidak mau ada yang punya. nona manis punya nona manis.
sedang yang kurang manis, sibuk kejar-kejar orang...

"miliki aku dong..."

yang putih bersinar redup di tengah kota

gedung pertunjukan: etalase manusia dan pernak-perniknya

selain kemiskinan dan sistem feodal, kolonialisme meninggalkan kita peradaban budaya pertunjukan. tidak sekadar komersialisme panggung tapi juga sopan santun dan sikap hormat pada seni pertunjukan. ya, mereka meninggalkan kita tempat yang lebih indah untuk menertawai hidup yang sebenarnya kita jalani dengan isak tangis dan haru biru.

sudah seharusnya, bangsa yang lebih dulu kenal pertunjukan daripada seni lain, memajukan gedung-gedung pertunjukannya. dirawat dan dilestarikan ke-kuno-annya. biarkan ia tetap berdiri kokoh dengan debu masa lampau yang tebal menyelimuti. jangan malah mencekik mereka yang berusaha masuk dengan nilai uang tinggi dan birokrasi tai kuda. sudah seharusnya, tiap-tiap orang rutin datang ke gedung pertunjukan. menjadi hal biasa saja. lumrah. alamiah.

seharusnya, gedung ini yang diperbanyak dan yang sudah ada dijaga. jangan terus bikin mall. tempat sampah saja itu. manusia datang, buang duit, keluar jadi manekin. mati lama-lama kemanusiaan mereka.

semoga kamu abadi bahkan sampai cucunya cucuku bisa tetap menulis tentangmu. gedung kesenian jakarta.

Rabu, 05 Maret 2014

rindu setengah mati main di atas panggung. pura-pura menjalani hidup orang lain sambil dikomentari banyak orang. menghapal kata yang sebenarnya akrab tapi sering lupa. lalu menunggu auditorium sepi dan penonton meninggalkanku jadi bangkai di hidup orang.

black out.

Sabtu, 01 Maret 2014

mencuri-curi waktu agar sedikit lebih lama berbicara

"tapi jangan berubah-ubah. dalam kepalaku pun punya rencana."

ya aku lupa. mauku beda.

Selasa, 25 Februari 2014

Begini inikah rasanya lapar? Begini inikah rasanya mau tapi tidak bisa? Oh begini rasanya tak berdaya.
Mudahmudahan tubuh masih kuat. Alah bisa karena biasa. Kan?

Kadang saya suka rambut saya yang keriting dan tidak begitu saja lurus

Omong kosong itu idealisme dan hasrat mencipta yang indah-indah,
Kalau ujung-ujungnya kalah sama keadaan.
Saya di tengah. Oportunis kamu bilang? Oh bukan. Saya di tengah, mengakui adanya warna abu-abu di antara pekatnya hitam dan terangnya putih. Untuk apa kamu tanya? Untuk melihat bahwa harus selalu ada kata "kompromi". Kompromi itu bukan kalah oleh keadaan. Oh betapa tololnya mereka yang masih bilang saya oportjnis. Kompromi itu justru meredam ide yang kadang membara dan malah membakar hangus mimpi. Kompromi itu mengambil jarak seobyektif mungkin untuk tidak menyerah betapapun sulitnya ide dimimpikan dan kemudian diwujudnyatakan.

Kompromi itu menundukan ego. Kompromi itu sulit. Kompromi itu terdengar lemah tapi...

Ia adalah jalan terbaik untuk bertanggung jawab atas ide yang telah muncul. Kompromi saudara.

Adakah kamu telah mencobanya?

Senin, 27 Januari 2014

enakan bermimpi daripada mengejar mimpi. capek di lari. kejar-kejaran sama waktu. capek di lari.

mimpi yuk!

Kamis, 16 Januari 2014

and so be it

ketika kamu berpikir kamu marah besar,
jangan-jangan kamu tidak sedang marah tetapi mempertimbangkan kemungkinan terbaik
marah? tidak marah?

tapi jika memang merasa marah,
marahlah.
dunia tidak perlu tahu kamu marah
kamu hanya cukup tahu kamu marah
dan sama seperti tawa,
ia akan berakhir dengan sendirinya.

kalau ada marah yang bisa memberi kita pencerahan ialah marah yang ditutup dengan cinta
karena dalam cinta, semua orang berhak benar dan berhak salah
jadi kemarahan itu hanyalah cara lain untuk bilang
 STAY!!!!
(i love you, please dont go)

jadi dalam teriakan teriakan yang terurai lewat makian,
mungkin
ada permohonan tentang cinta yang setulus-tulusnya manusia bisa minta.


 FUCK YOU.
(please?)