Rabu, 28 Mei 2014

Ampas Teh

Bagian Kedua

Suaranya bergetar. Suara serak yang selama 25 tahun lebih dipaksa kuat. Kini mereka meluncur tanpa malu jadi lemah.  perempuan itu meletakan tangannya di atas lengan laki-laki di hadapannya. Ia juga ingin bisa menyenangkan laki-laki ini. ia cari-cari lagi di mana dulu gairah yang selalu ada di wajah itu perginya? Laki-laki ini dulu begitu bercahaya. Pagi pun kalah segar dibanding air mukanya. Selalu ada kehidupan yang ia alirkan lewat tatapan mata. Bagi perempuan ini, keberadaan wajah itu, tatapan itu, telah cukup kuat untuk memeluk mereka semua jadi keluarga. Kini, yang tersisa hanyalah batu retak yang siap hancur kapan saja.
Ia ulurkan telepon pada laki-laki itu. dengan wajah pasti memintanya menerima. Laki-laki itu hanya bisa diam dan mengamati gerakan di hadapannya. Haruskah ia balas? Bolehkah ia sekali ini meluncur hancur jadi manusia renta kehilangan semangat?
“teleponlah... coba sekali lagi. Dua kali lagi kalau perlu.”
“percuma, takkan ada yang mengangkat.”

Perempuan ini Cuma bisa ikut sedih mendengarnya. Ia tak kalah rindu. Rindunya lebih luas dan dalam. Namun, seperti laut, yang lebih dalam biasanya lebih tenang. Ia simpan rapat kecemasannya untuk menabung ketenangan bagi pria di hadapannya. Digerakannya sekali lagi tangannya. Kali ini sedikit memaksa.

Tidak ada komentar: