Rabu, 28 Mei 2014

Ampas Teh

(tulisan lama yang harus ditaruh di sini)

Bagian Pertama
“halo...”
Lalu suara itu ditelan lagi. Menunggu beberapa saat sebelum akhirnya putus jadi helaan nafas. Perempuan yang datang bertanya sambil memberikan cangkir yang penuh dengan air teh.
“tidak diangkat lagi?”
Laki-laki itu menggeleng. Tangannya menyapu rambut putih di atas kepala. Ingin rasanya ia benamkan rambut-rambut itu dalam air teh, berharap supaya warnanya lebih cerah. Ia berkaca pada imajinasinya sendiri. Tentang betapa tua, betapa lusuh, betapa lemah ia telah menjadi manusia kini. Berdua dengan perempuan yang sedikit lebih muda kelihatannya, mereka menghabiskan waku dengan air teh yang mengalir lancar di tenggorokan.
Di waktu-waktu kosong begini, teman mereka hanyalah kudapan, teh atau kopi, suara jam yang harus diputar tiap berhenti di angka 6 atau 12, suara kaki diseret malas, gesekan alat makan, dan siaran tv yang kehilangan selera untuk dilihat. Jarang ada tawa. Kata pun sedikit-sedikit meluncur. Itupun kalau ada yang benar-benar perlu dikomentari.
Laki-laki itu menatap perempuan yang duduk di hadapannya. Ia berusaha menikmati manis yang masih tersisa di usia menuju malam itu. dikenangnya senyum yang pernah begitu sempurna menghias. Ia ingat ketika ia dulu sekali berhasil membawa perempuan ini naik ke pelaminan. Ia merasa telah menjadi laki-laki paling luar biasa. ia tidak hanya menenun masa depannya, ia juga mengajak tangan lain menenun benang-benang itu jadi gambaran luar biasa. namun, ia tak pernah bayangkan, mereka berdua kini harus bersabar dengan kesepian. Setelah lewat sudah masa-masa sulit membesarkan buah cintanya, mereka harus bisa kembali lagi ke masa semua dilakukan berdua untuk berdua. Tapi, ah, tapi... mereka tak muda lagi. Dan sisa manis yang bisa ia kecap dari perempuan di hadapannya telah habis disembunyikan keriput.

“aku kangen”

Tidak ada komentar: