Rabu, 28 Mei 2014

seribu (dan) terima kasih

kawan yang baik,
yang rajin membuka untuk
1. membaca lalu
2. diarahkan oleh google yang secara acak mengambil keyword yang kamu tulis
3. ingin tahu saja saya bicara apa
4. mencari bahan tertawaan tentang kesalahan berbahasa atau kegagalan sy yang lain
5. mengisi mata

selamat tinggal. semangkuk kata-kata sudah terlalu banyak menampung kata. saya pikir, rasanya mulai tidak karuan. sudah tidak enak, kawan. marilah kita ganti piring dan ambil makanan baru dari tempat lain. tempat ini sudah tak lagi muat menampung imajinasimu yang liar (atau kesepian saya yang makin mencekik). baiklah kita balik mangkuk ini dan berlalu darinya.

terima kasih untuk seribu pos yang sudah kamu ikuti. saya berhenti. semoga kamu tidak. sampai jumpa.
jangan lekas puas.
hidup saya sepi begitu tanpa kalian. tapi saya sadar, monolog ini harus berhenti. kata-kata mulai tidak berguna. otak makin dangkal. tak ada guna lagi interaksi di sini. semoga ada yang kangen. kalau tidak pun, tidak apa. mangkuk ini di sini. kalau-kalau lapar.

selamat tinggal

saya melihat kembali,
cerita di sini sudah tidak lagi menghibur.
ya?
tidak lagi banyak dan berwarna-warni.
tidak lagi begitu menarik untuk terus-terus dibaca.
ah,
kamu tidak akan butuh lagi cerita dari saya. banyak yang bicara bagus-bagus dan semuanya berwarnawarni.
pergilah,
sudah sy izinkan jauh sebelum kamu minta.
apalah gunanya kata kalau mereka hanya disalahartikan dan tak dipergunakan dengan baik. baiklah orang bicara begini untuk maksud yang benar begini. dan janganlah, mereka bicara begini untuk menyatakan begitu. pada orang-orang yang sempit akalnya dan cepat meledak-ledak ini, mereka tak mengerti. apalah gunanya kata kalau tak juga dapat meredam marah? apalah gunanya kata kalau hanya meremukan tulang? apalah gunanya kata kalau ketiadaannya ikut membawa pergi sukaku? apa gunamu dan kata-kata hebat dalam kepala, kalau tak ada orang jadi lebih pandai mengerti?

jadi,
apalah gunaku dan kataku yang banyak dihasilkan di sini?
Terakhir

Sementara itu, di ujung telepon tadi, suara perempuan masih sibuk mengulang kalimat yang sama.
“nomer yang anda tuju tidak dapat dihubungi silakan hubungi beberapa saat lagi...”

Berulang kali sampai bunyi tuuuuuuut panjang menghabisi rindu yang tak pernah sampai.

( November 2012
pernah dipublikasikan di Majalah Gaung)

Ampas Teh

Bagian Keempat

“ia tidak bisa lama-lama menelepon. Nanti dia akan telepon lagi kalau sudah senggang. Katanya salam untukmu.”

Perempuan itu dengan syahdunya mengirim pelukan rindu lewat doa yang terlafalkan di bibir. Suaminya senang melihat istrinya lega. Istrinya lega mendapat kabar rindu dari anaknya. Senang dua kali karena suaminya sudah senang sekarang. Mereka berdua kini punya banyak hal yang akan dibicarakan sambil duduk menghabiskan waktu senggang. Anak mereka.

Ampas Teh

Bagian Ketiga

“teleponlah. Rindumu tak kenal kata percuma, kan?”
Seperti tersengat, laki-laki itu mengambil telepon dan menekan deretan nomer di atasnya. Ketika saat yang paling ditakutkan datang, menunggu jawaban, ia hanya bisa menatap perempuan di depannya. Dan detik itu juga, rasa manis yang sesaat tadi  hilang entah ke mana, kini telah kembali dengan kadar yang lebih banyak. Meluap-luap hingga tak mungkin ia tak tenggelam di dalamnya.
Istriku ini orang baik. Aku suka lupa, dia pun rindu. Kami sama-sama rindu. Aku dengan egoisnya menyisihkan ia, merindu dua kali lebih banyak. Ah, biarlah, biar ia tahu aku pun ada untuknya.
Sesaat kemudian, suara laki-laki ini terdengar meluncur semangat. Cepat-cepat namun berkali-kali. Ada percakapan. Perempuan ini senang dan lega sekaligus. Akhirnya, penantian suaminya tiba juga. Anak laki-laki mereka yang belajar di luar kota bisa mengangkat telepon dari rumah. Sudah lama sekali ia tak pulang. Sudah banyak sekali kata rindu dikeluhkan suaminya. Hingga ia sendiri sedih karena tak mampu mengurangi rindu yang menyayat-nyayat pikiran suaminya. Kini nafasnya ringan setelah tahu suaminya mendapat apa yang selalu dicari di pagi hari, di siang hari, di sore, di waktu makan malam, di waktu sepi menunggu kantuk, bahkan saat telah sangaat mengantuk.
“ya.. ya.... kamu baik-baik ya. Ya, baiklah nanti ayah sampaikan. Hati-hati.”

Percakapan singkat itu berhenti. 

Ampas Teh

Bagian Kedua

Suaranya bergetar. Suara serak yang selama 25 tahun lebih dipaksa kuat. Kini mereka meluncur tanpa malu jadi lemah.  perempuan itu meletakan tangannya di atas lengan laki-laki di hadapannya. Ia juga ingin bisa menyenangkan laki-laki ini. ia cari-cari lagi di mana dulu gairah yang selalu ada di wajah itu perginya? Laki-laki ini dulu begitu bercahaya. Pagi pun kalah segar dibanding air mukanya. Selalu ada kehidupan yang ia alirkan lewat tatapan mata. Bagi perempuan ini, keberadaan wajah itu, tatapan itu, telah cukup kuat untuk memeluk mereka semua jadi keluarga. Kini, yang tersisa hanyalah batu retak yang siap hancur kapan saja.
Ia ulurkan telepon pada laki-laki itu. dengan wajah pasti memintanya menerima. Laki-laki itu hanya bisa diam dan mengamati gerakan di hadapannya. Haruskah ia balas? Bolehkah ia sekali ini meluncur hancur jadi manusia renta kehilangan semangat?
“teleponlah... coba sekali lagi. Dua kali lagi kalau perlu.”
“percuma, takkan ada yang mengangkat.”

Perempuan ini Cuma bisa ikut sedih mendengarnya. Ia tak kalah rindu. Rindunya lebih luas dan dalam. Namun, seperti laut, yang lebih dalam biasanya lebih tenang. Ia simpan rapat kecemasannya untuk menabung ketenangan bagi pria di hadapannya. Digerakannya sekali lagi tangannya. Kali ini sedikit memaksa.

Ampas Teh

(tulisan lama yang harus ditaruh di sini)

Bagian Pertama
“halo...”
Lalu suara itu ditelan lagi. Menunggu beberapa saat sebelum akhirnya putus jadi helaan nafas. Perempuan yang datang bertanya sambil memberikan cangkir yang penuh dengan air teh.
“tidak diangkat lagi?”
Laki-laki itu menggeleng. Tangannya menyapu rambut putih di atas kepala. Ingin rasanya ia benamkan rambut-rambut itu dalam air teh, berharap supaya warnanya lebih cerah. Ia berkaca pada imajinasinya sendiri. Tentang betapa tua, betapa lusuh, betapa lemah ia telah menjadi manusia kini. Berdua dengan perempuan yang sedikit lebih muda kelihatannya, mereka menghabiskan waku dengan air teh yang mengalir lancar di tenggorokan.
Di waktu-waktu kosong begini, teman mereka hanyalah kudapan, teh atau kopi, suara jam yang harus diputar tiap berhenti di angka 6 atau 12, suara kaki diseret malas, gesekan alat makan, dan siaran tv yang kehilangan selera untuk dilihat. Jarang ada tawa. Kata pun sedikit-sedikit meluncur. Itupun kalau ada yang benar-benar perlu dikomentari.
Laki-laki itu menatap perempuan yang duduk di hadapannya. Ia berusaha menikmati manis yang masih tersisa di usia menuju malam itu. dikenangnya senyum yang pernah begitu sempurna menghias. Ia ingat ketika ia dulu sekali berhasil membawa perempuan ini naik ke pelaminan. Ia merasa telah menjadi laki-laki paling luar biasa. ia tidak hanya menenun masa depannya, ia juga mengajak tangan lain menenun benang-benang itu jadi gambaran luar biasa. namun, ia tak pernah bayangkan, mereka berdua kini harus bersabar dengan kesepian. Setelah lewat sudah masa-masa sulit membesarkan buah cintanya, mereka harus bisa kembali lagi ke masa semua dilakukan berdua untuk berdua. Tapi, ah, tapi... mereka tak muda lagi. Dan sisa manis yang bisa ia kecap dari perempuan di hadapannya telah habis disembunyikan keriput.

“aku kangen”