Rabu, 28 Mei 2014

Ampas Teh

Bagian Ketiga

“teleponlah. Rindumu tak kenal kata percuma, kan?”
Seperti tersengat, laki-laki itu mengambil telepon dan menekan deretan nomer di atasnya. Ketika saat yang paling ditakutkan datang, menunggu jawaban, ia hanya bisa menatap perempuan di depannya. Dan detik itu juga, rasa manis yang sesaat tadi  hilang entah ke mana, kini telah kembali dengan kadar yang lebih banyak. Meluap-luap hingga tak mungkin ia tak tenggelam di dalamnya.
Istriku ini orang baik. Aku suka lupa, dia pun rindu. Kami sama-sama rindu. Aku dengan egoisnya menyisihkan ia, merindu dua kali lebih banyak. Ah, biarlah, biar ia tahu aku pun ada untuknya.
Sesaat kemudian, suara laki-laki ini terdengar meluncur semangat. Cepat-cepat namun berkali-kali. Ada percakapan. Perempuan ini senang dan lega sekaligus. Akhirnya, penantian suaminya tiba juga. Anak laki-laki mereka yang belajar di luar kota bisa mengangkat telepon dari rumah. Sudah lama sekali ia tak pulang. Sudah banyak sekali kata rindu dikeluhkan suaminya. Hingga ia sendiri sedih karena tak mampu mengurangi rindu yang menyayat-nyayat pikiran suaminya. Kini nafasnya ringan setelah tahu suaminya mendapat apa yang selalu dicari di pagi hari, di siang hari, di sore, di waktu makan malam, di waktu sepi menunggu kantuk, bahkan saat telah sangaat mengantuk.
“ya.. ya.... kamu baik-baik ya. Ya, baiklah nanti ayah sampaikan. Hati-hati.”

Percakapan singkat itu berhenti. 

Tidak ada komentar: