Rabu, 19 Maret 2014

Apa kita tak berbahasa satu?

Apakah aku yang terlalu bodoh menjawab pertanyaanmu atau kepalamu yang tak tertuju padaku hingga tiap jawabku kau tandaskan saja dengan anggukan. Di mana kita dapat berinteraksi jika kupingmu tak ada di sini, di sampingku yang berkatakata.

Ini tanya setelah malam malam kita tak bertemu dalam diskusi yang membuat otakku orgasme. sebab kukatakan, ini bukan cinta yang timbul ketika mata pertama kali berpandangpandangan, ini cinta (kalau benar demikian adanya) yang kusiangi tak peduli waktu dengan ketekunan menyaksikan kemegahan pikiranmu memperluas milikku. Ini sebuah hubungan senggama antara isi otakku dan otakmu yang harus kulampiaskan dalam ciuman panas di tengah hujan deras yang mengguyur. Ini rindu yang takkan sembuh dengan sekadar gambar muka di memori perangkatku. Jadi ini bukan sekadar romantisme kilat yang tak butuh kau dengar dan pahami.

Aku perlu ruang, di mana kita duduk bertukar pikiran dan kau mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku lebih suka kita berakhir dengan amarah ketimbang kau menulikan telingamu atas ucapanku.

Aku tak perlu rasa iba dan dada untuk bermanjamanja, aku butuh kekagumanmu atas apa yang kupikirkan dan tak kau temukan di lain tempat.

apa janganjangan aku telah jadi kanakkanak perempuan yang riang gembira dan  manis dan dan... Dungu?


Selasa, 18 Maret 2014

Tuhan Maha Adil

nona manis, siapa yang punya?

ternyata eh ternyata, lirik lagu ini bikin si nona menangis meraung-raung di pojok ruangan. masalah orang manis, cantik, dan indah... semua mau punya. si nona tidak suka. kenapa nona tidak suka? padahal banyak yang suka nona,

" dipikirnya aku vas bunga. siapa boleh punya. dipikirnya aku balon, yang punya boleh pegang erat-erat sampai meletus."

ternyata oh ternyata, nona manis tidak mau ada yang punya. nona manis punya nona manis.
sedang yang kurang manis, sibuk kejar-kejar orang...

"miliki aku dong..."

yang putih bersinar redup di tengah kota

gedung pertunjukan: etalase manusia dan pernak-perniknya

selain kemiskinan dan sistem feodal, kolonialisme meninggalkan kita peradaban budaya pertunjukan. tidak sekadar komersialisme panggung tapi juga sopan santun dan sikap hormat pada seni pertunjukan. ya, mereka meninggalkan kita tempat yang lebih indah untuk menertawai hidup yang sebenarnya kita jalani dengan isak tangis dan haru biru.

sudah seharusnya, bangsa yang lebih dulu kenal pertunjukan daripada seni lain, memajukan gedung-gedung pertunjukannya. dirawat dan dilestarikan ke-kuno-annya. biarkan ia tetap berdiri kokoh dengan debu masa lampau yang tebal menyelimuti. jangan malah mencekik mereka yang berusaha masuk dengan nilai uang tinggi dan birokrasi tai kuda. sudah seharusnya, tiap-tiap orang rutin datang ke gedung pertunjukan. menjadi hal biasa saja. lumrah. alamiah.

seharusnya, gedung ini yang diperbanyak dan yang sudah ada dijaga. jangan terus bikin mall. tempat sampah saja itu. manusia datang, buang duit, keluar jadi manekin. mati lama-lama kemanusiaan mereka.

semoga kamu abadi bahkan sampai cucunya cucuku bisa tetap menulis tentangmu. gedung kesenian jakarta.

Rabu, 05 Maret 2014

rindu setengah mati main di atas panggung. pura-pura menjalani hidup orang lain sambil dikomentari banyak orang. menghapal kata yang sebenarnya akrab tapi sering lupa. lalu menunggu auditorium sepi dan penonton meninggalkanku jadi bangkai di hidup orang.

black out.

Sabtu, 01 Maret 2014

mencuri-curi waktu agar sedikit lebih lama berbicara

"tapi jangan berubah-ubah. dalam kepalaku pun punya rencana."

ya aku lupa. mauku beda.