Kamis, 30 April 2009

cukup untuk hari ini!

dalam candaku dengan seorang kawan baik aku katakan
"maaf otakku sedang pergi bermain keluar"
kemudian dalam akhir percakapan aku katakan
"tolong bilang pada otakku, kembalilah pulang esok. sekarang aku sedang tak
ingin berpikir"

kapankah keningku akan berhenti mengkerut
dan bola mataku pergi menyelidiki
kapan otakku takkan berpikir
aku butuh berhenti
pada satu titik dimana aku telanjang
tanpa menelajangi

aku lupa teman,dimana ya?

aku baru ingat
aku lupa dimana aku meletakan hatiku
ah gawatnya
mungkin hatiku tercecer di atas meja
jatuh jadi serpihan ke bawah
dijilati anjing anjing yang berputar
ah hatiku yang malang
sudah hancur beribu kali
dimana pula kau kuletakan
tolong,
bagi siapa yang lihat
berbisiklah dalam angin
aku ingin tahu.

selaput yang sendiri

sebenarnya ini pengorbanan
bersama si selaput kalian hanya akan lihat bayangan
lupa bagaimana mendeskripsikan kebahagiaan
selaput itu punya cara menikmati rasa sakitnya
jadi jangan khawatir
kalian pergilah
bangunlah sebuah rumah dari tangkaian cinta
tinggalkan selaput yang tunggal di padang rumput
selaput itu tahu apa yang dia mau
hanya kadang tidak tahu apa yang dia perlu
tinggalkan saja dia di bawah bulan
dia selalu tahu jalan pulang
pulang menuju galaksinya
duniamu dan selaput
dipisahkan oleh seabad rindu
kalaupun ia mau
ia takkan tahu
1 hari ia habiskan dalam tawa bersamamu
kemudian dia merambat pergi mengunjungi bagian bumi yang lain
dan kau,
kau hanya kenal duka pada selaput
menjadi pintarlah
karena selaput tidak butuh iba
selaput tidak butuh rumah untuk meletakan kepala
ia tak punya kelapa
selaput tidak butuh hati
untuk menyimpan rasa
ia hanya punya ruh.
berbahagialah,
sebab pengorbanan dari selaput
sakit di awal,
bahagia akhirnya
manis
dan selaputku pergi

kemana perginya pintuku?

tanaman yang tumbuh merambat di depan pintu
menyembunyikan jalan masuk
dan ranting ranting yang membungkuk di dekatnya,
mencekat langkah mereka yang akan masuk
bukan aku tak mau membuka pintu
namun memang pintuku punya teman,
tumbuhan merambat dan rantingnya.
sekali pernah ada yang bersedia menunggu,
mencoba meracuni tumbuhan merambat
supaya mati dan jalan tanpa hambatan
namun waktu melumuti mereka,
dan lelah menunggu
karena sebagian sel tubuh mereka menjadi lumut
menyuburkan tanaman pintuku
mereka beranjak
tanaman merambat teman pintuku
tetap tinggal
tumbuh tinggi,
tak terkalahkan

kini jangan tanyaku,
mengapa sulit membuka pintu
kau tahu jawabannya
jangan tanya aku bagaimana cara masuk
kau tahu apa yang menghalangi
aku terlalu sering disalahkan
oleh sebab pintu lama terkunci

mungkin bukan aku tak mau membuka pintu,
tapi pintuku tahu kapan harus membuka
juga tanaman merambat dan rantingnya
tahu kapan harus berbaring
sampai saat itu tiba,
pergilah jika pintuku tak terlihat
jika kakimu tercekal

karena kau tahu,
mungkin ini memang bukan saatnya

Selasa, 28 April 2009

kebodohan yang penakut

sepertinya aku benar-benar ingin melakukannya
walaupun sudah kuikat tangan dengan semak belukar
meludahi layar dengan asam cuka
menindih kaki dengan mata palu
tapi tetap tak bisa terkendali rasanya
ada saja waktu ketika menemukan barisan kata yang memanggil dirinya
aku tersentak
terasa dibakar di dalam
serasa mampu melucuti semak belukar
mengusap layar
dan memberontak dari palu memalu
sebenarnya tak muluk yang ingin kuperbuat
bukan, bukan aku ingin terbang menari sampai bintang
bukan juga aku ingin dilukis di sela-sela awan
aku bukan akan ingin memeluknya atau menciumnya
sungguh tidak
aku cuma ingin
bilang : "halo"

Minggu, 26 April 2009

satu pelor untuk tiap detik di depan

seperti angin yang bertumpu jalannya di udara
aku pun melekat pada tanah di atas sini
tidak bisa terbang kalaupun ingin
tidak bisa berenang dan mengapung sepanjang tahun
walau mau.
menggerakan tungkai
bagai mengayuh pedal sepeda
terus dan terus
melaju dengan kaki melekat di tanah
itulah usaha
yang sedikit banyak diusahakan manusia
menjadi amunisi yang digunakan kelak saat perang sungguh berkecamuk
di dalam
atau di luar
hati atau pikiran
bagaiman dengan aku
dengan apa aku isikan amunisi senjata
dengan cinta yang lalu seperti angin
atau kejujuran yang nyata dan mengiba

seandainya boleh, aku ingin mencabik sendiri mimpi ini

begitu lupa aku bagaimana menjadi berani. berani dalam mengakui. dan betapa naiv aku merasa diperhatikan, pada kedua mata yang bahkan tak melihat padaku. aku sungguh ingin menyesali hari lalu yang mencabik kepercayaan dan harapan, menyisakan sebegitu kecil dari keindahan romanntis. membuatku aku berbaring pada pembaringan yang sepi, dalam dunia buatanku sendiri.
mulutku bergerak atas bawah, cepat lambat memuji namamu. tapi kau pasti tak mendengar. karena kita dipisahkan ribuan mil jauhnya. mataharimu tenggelam, matahariku terbit. tapi bulan kita satu, dan rumput yang menari dihadapanku adalah juga yang menari untukmu.
seandainya mungkin ada satu hari, aku ingin menemukanmu tertidur. memasuki alam pikiranmu yang kosong, dan menggambar sendiri memori yang ingin aku buat. tentang kamu dan aku yang berdiri di bawah hujan. atau kamu yang mengantungi sinar bulan kala hatiku melilit. mungkin saat kamu memotret wajahku untuk disandingkan dengan senja. dan saat aku memasak sepiring penuh pasta yang memerah seperti pipimu... aku ingin menggigitmu pada kedua bola mata yang berseri setiap kita bertemu
aku mau sayang
tapi kau mau yang lain
dan hari ini aku harus bisa
berpura pura lagi, seolah dirimu tidak nyata dalam duniaku. seakan kita memang hanya begitu, menyapa saat bertemu dan berpisah. tidak yang lain
walaupun jujur,aku ingin menari saat kau menyanyi
aku ingin berputar saat kau bergitar
aku ingin kau
pada hari ini (dan selamanya)

eksplorasi pikiran

kamu pergi
berjalan keluar dari pintu yang diukir
meninggalkan bayangan
dalam kepulan asap yang melintang di udara

aku di sini
memandangi punggung yang menghilang dalam asap
berharap menangkap sedikit
kepercayaan dan harapan

kamu takkan rindu
walau seribu tahun jarak kita
tapi aku ya,
dan dalam bisu
aku menyimpan kamu pada kotak kotak imaji
dan memainkannya kala merindu

aku sungguh berharap
pada satu titik kamu berjalan
aku ada di situ
tepat dalam pikiranmu
walau hanya seperlunya
menjadikan aku begitu pentingnya
dalam hati yang genting
menanti yang berdenting

begitulah aku melepasmu
naik ke udara
hingga tak kutemukan titik untuk melihatmu
dan semua kembali nyata
aku
kamu
kita
tidak hidup di dunia
tapi di sini
atas rekonstruksi hatiku

Rabu, 15 April 2009

knocking asking begging

jangan lebih lama lagi,
jangan lebih panjang lagi
karena kesakitan di kepala
berdentum bagai detik dan jarumnya

tolong seseorang
sembuhkan
kalau perlu bawa lari
ini sakit yang jahanam
sembaran menusuk nadi kencang-kencang
denyut jadi tak beratur
seluruh tubuh jadi pesakitan

tabib

Kamis, 09 April 2009

kalung itu berbiji kejujuran

if i could cry, i will...
mengapa sangat sulit untuk menjadi jujur
seandainya bisa aku menjadi seperti temanku yang dengan tiba-tiba mengetuk hati saya. judulnya "if i could cry, i will"
apa yang harus saya lakukan jika berduka?
haruskah menangis?
mengapa begitu sulit untuk mengeluarkan duka dalam butiran butiran itu
atau memang benar
"akulah bagian dari imajinasi pada dunia yang tidak nyata"

merasuki alunan nada

aku ingin menjadi lagu yang mengalir dari jiwa ke jiwa,
yang bernyanyi tentang satu hati dan hati lainnya,
menenangkan tiap duka dan luka,
menjadi lagu yang indah yang menari di udara luas bebas tanpa halangan.
yang menyatu dalam atmosfer.
menjadi aroma yang menyejukkan.
seperti sebuah lagu aku ingin begitu

ekspresi dari hadapan cermin

seperti merasakan kejenuhan yang berulang setiap pagi. sebab aku memulai pada titik matahari beranjak naik, dan mengakhiri pada titik bulan merangkak turun. adakah hari yang akan kuisi dengan bulan pada siang dan matahari bersinar di kala malam. atau aku hanya begitu kesepian hingga tak sanggup lagi berteman dengan imajinasi. ataukah imajinasi adalah satu satunya duniaku yang nyata atau akulah yang tidak nyata. mengapa mereka datang dan beranjak saat tawa baru terlepas di udara. tidakkah mereka mau tinggal sejenak, juga untuk merasakan tangisku. sebab dalam sendiri aku merasa haru yang menyiksa. mungkin mereka pergi karena jenuhku telah tertular. taukah mereka, kedatangan mereka adalah obat bagi penyakit ini.
selesai
dan semua memang harus bertemu akhir. bagaimana jika ini adalah awal dari semua yang awal. semua yang telah menjadi kemarin hanya cerita... apakah mungkin bahwa sepi ini semua hanya rekaan dari mereka yang tertawa memperhatikanku di atas? atau tidak
seperti menatap ke depan kaca, hanya aku yang terlihat di sana. dan pantulan atas barang barang tak bernyawa. kemanakah mereka yang dengan begitu kasih aku rindukan. mengapa kebencian merenggut mereka pergi dan menghilangkan aku dari lembaran lembaran kebahagiaan. aku mengaduh dalam kesakitan akibat luka yang tergores pada sebilah hati. seandainya mereka pulang dan mendengar dan menemukan racun yang menyetrum sarafku, akankah kudapati kembali keutuhanku yang dahulu. atau tidak?

samakah aku pada dimensi waktu yang lewat. atau memang monster jiwaku ini. yang tak lagi mengasihi mereka yang mengorbankan darah bagiku. dan bernyayi mazmur untuk jiwa yang hilang. karena seperti angin temanku, maka badai selalu bersenandung pada jiwa.

esok
akankah aku bangun saat matahari berada di kejayaanya
dan
melupakan duka hari ini

-pagi yang mendung dan ceritanya-

seiring hujan yang tiba lebih awal
aku menyadari kesendirian terkadang membunuh kita bersama sama dengan waktu yang terluang berlebihan
seperti mencoba keluar dari kotak yang menghimpit tubuh,
nyatanya justru usaha belikat kita memberontak semakin mengikat kita diam pada rusuk rusuk kotak itu
hujan mengalirkan air yang dalam kemagisannya menyentuh bagian bagian luka yang hitam terbakar
yang sesungguhnya telah mustahil untuk sembuh untuk terobati.
aku
baru
saja terbangun
saat hujan tiba hari ini
ia tak meneriakanku kata dalam guntur
ia hanya menyapa melalui aroma tanah yang dijamah secara lembut
yang merangsang kebahagian di indera indera perasaku
aku berbahagia karena menemukan hujan di pagi hari
yang walau hanya sejenak telah membangunkanku dalam kedamaian
sebab seperti hujan yang tiba lebih awal
aku pun merasa sepi

sandal biru ini

sebuah sandal biru
tergeletak
seolah terlupa untuk disentuh
terlupa akan waktu lamanya yang penuh manfaat
yang dahulu begitu diinginkan
kini memudar, menyudut di tempat yang sepi
kotor dan tak indah
sekali sekali tak pernah lagi disapa
oleh telapak telapak yang rindu dilindungi
hanya sandal biru
sendiri haru biru
karena telah hilang yang berharga
karena telah lapuk
dan rindu dikenakan
sandal biru yang malang

Rabu, 08 April 2009

saat awal berujung

maaf aku sedang tidak bicara untukmu,
jadi janganlah bersimpatik
maaf ini semua bukan tentangmu
jadi tak usalah menaruh haru
sungguh aku meminta maaf
hari ini di lembar ini telah diisi dengan dia
karena cintu itu ternyata memang angin
yang berhembus
hadir
dan lalu tidak tahu kemana arahnya
maaf kata-kata sudah habis untukmu

selamat tidur

saat kamu pergi menutup mata,
aku pergi berlutut memanjatkan harapan
kataku padaNya
tolong jaga dia
di ribuan mil jauhnya dariku
tolong kuatkan dia,
karena masa di hadapannya begitu cerah seperti pagi yang akan disambutnya
tolong sayangi dia
karena aku begitu jauh untuk tersenyum baginya
Tuhan,
aku tahu malam ini kami tidur terpisah
namun kami berbaring di bawah sinar bulan yang satu
dan bersandar pada langit yang sama
seandainya nanti tiba,
bawalah dia kembali
mengetuk pintu rumahku
dan memberi salam
"aku pulang"
lalu kuseduh kopi atau teh atau apapun yang dia mau
kubiarkan kakinya tergeletak tak berenergi
dan matanya lebur sebelumku
tapi sebelum itu semua kembali
tolong Tuhan
kirimkan gambarnya untukku
agar hari ini aku ingat dia,
amin

KONSTAN

bagaiman rasanya konstan?
tidak berubah, walau dunia tetap berotasi
sesungguhnya aku ingin sekali saja konstan
karena menjadiku adalah sebuah dinamika yang magis
bergerak tanpa batasan vertikal atau horizontal
menembus kiri dan kanan
serta melupakan jalan berputar

aku menyebutkan seratus nama dalam satu nafas
mencintai seribu wajah dalam satu kerjapan
berpaling lalu melupakan
mengingat semenit dan meludahinya jutaan
bagaimana bisa aku menghentikan statiska duniaku yang menukik tajam lalu kembali merangkak naik

konstan
bagaimana manusia menggambarkannya untukku
seperti satu garis yang ditarik tanpa getaran
atau seperti harimu
yang dimulai di satu titik berakhir di titik lain
terus sampai minggu berjumpa minggu

konstan
aku ingin bisa mengagumimu begitu
bukan hanya dengan mata
atau mengucap manisan yang dikecap
bukan mengenalmu
lalu menyukaimu
lalu menyudahimu
namun konstan menyayangimu
ingin setiap hari,
dari senin hingga senin
selama tahun-tahun
bahagia dan berduka
menjaga seperti aku juga dilindungi
mengecup
bukan pertama saja
namun selamanya
konstan
begitu aku ingin terus berbisik di telingamu
konstan,
aku ingin terus menyayangimu

Selasa, 07 April 2009

harapan pada dahan yang lapuk

karena lelah menunggu kau datang menulis namaku,
maka kutulis lebih dulu namamu di atas dahan pohon itu
bukan di tanah,
agar tidak tersapu oleh angin
bukan di dinding,
agar tidak terbilas waktu
tapi di dahan dengan ukiran dan pahatan
berbentuk namamu
supaya terus menua dan lapuk di situ
sama seperti harapanku

Senin, 06 April 2009

rahasia!

aku jatuh hati
pada tempat yang salah

aku menaruh harapan
pada waktu yang keliru

aku meletakan awal dari kebahagiaan di ambang pintu
bukan karena aku tak berani

namun
aku bukan petaruh
yang memainkan lemparan dadu di atas meja
dan melemparkan kawan di atasnya
demi sebuah hadiah yang merayuku

kutaruh kamu di sini
dengan kekaguman yangg terselip di antara lidah

hai, kamu bayanganku

seperti bernyanyi
aku ingin menghentikan waktu
memindai dirimu ke sisi
seperti menari
aku mau menghabiskan waktu
mengikatmu untuk tetap di sisi

jangan,
sedikitpun lupakan berpikir
karena pikiranmu menghanguskan bayangan
menyisakan asap
asap mudah hilang lenyap dibawa angin
namun bayangan,
walau semu selalu di situ
tak peduli apapun
bayangan tak pernah terusik

aku ingin menggambarmu
menjadi nyata
hai bayangan dalam mimpiku

apa mimpimu?

seperti batang padi yang ditanam pada lahan gembur
begitulah aku
yang gemuk
yang basah
yang siap dituai
yang berbuah bulir bulir padat dan dicintai
yang kemudaannya menghasilkan satu masa depan

ah, betapa sebuah padi dibutuhkan
aku ingin begitu
aku ingin kehadiranku dinanti bukan sebagai pelengkap
namun sebagai yang utama
aku ingin dinikmati bukan untuk membuka atau menutup
tapi yang terutama
aku ingin dikenakan dengan baik
bukan hanya sebagai hiasan atau tambahan
namun dasar yang utama
ah, seperti padi yang ranum
akulah itu
sirami aku langit dengan air yang menyegarkan tubuh
biarkan inspirasi bersinar bersama kemudaan kami yang memudar
agar kami tak mati tua, tapi bersuka ria dalam kemudaan
ini nasihat, tentu bukan
hanya permenungan dari batang padi yang menggoda untuk diinginkan
karena satu usia adalah gairah untuk bermimpi

M U D A

aku ingin menua tanpa tahu kalau aku menua
aku ingin dewasa tanpa sadar pengetahuanku bertambah
karena kesadaran kita,
melahirkan sebuah kemahiran
kemahiran yang berlebih membuahkan
pertunjukan hebat
dan pertunjukkan hebat akan mengayomiku pada batas kepuasan
dimana nadiku berhenti merasakan alam
otakku takkan berputar
dan hasrat berpaling dari keindahan-keindahan yang menggila setiap detiknya
setiap kali aku memikirkan hari ulangtahunku
aku menangisi satu hari di belakangku
karena langkahku semakin sempit
dan hanya sedikit yang baru kuberikan
bagaimana ini
usia, hentikan langkahmu
biarkan kemudaanku menang bersama idealismenya
biarkan hasratku akan keindahan menguasai tubuhku
aku tak ingin mati menua
aku ingin mati berperang
pada keindahan yang disukai syarafku

seporsi, nikmati

Betapa sulit menghabiskan satu porsi senja senja saat ini? Duduk sendiri di hadapan hidangan memukau, sepiring senja disertai tetesan-tetesan air langit yang menggenangi tiap bongkah senja itu. Aku berpikir, akankah nikmat hidangan yang menawan ini jika ditemani barang seorang atau dua. Bahkan kenikmatan akan mengental jika tetesan hujan ini pun dapat merembesi lidah lidah kelaparan para pencoleng, yang siang berkelana hingga lupa bertemu senja. Sebab bagiku, senja adalah ketentraman yang digigit oleh barisan gigi warna warni oleh zat adiktif pada tembakau, yang menhitam kadang menguning. Mencampurkan rasa pahit nikotin dengan kemurnian senja itu. Aku tergila-gila, pada rasa senja yang kunikmati sendirian atau beramai-ramai.

Tidakkah mempesona sebuah senja sanggup memenuhi hasrat yang rindu oelh damai. Sebab bagaikan lukisan agung maha karya abad renaisancelah aku menghayati senja. Lekuknya yang menyimpan sari-sari rasa yang melebihi campuran rempah-rempah dari pelosok bumi manapun, juga dagingnya yang lembut menggetarkan tiap kali kita menggigit ujung atas senja. Seolah lumer pada panasnya rongga mulut kita. Bagai awan, bagai ozon… aku tergila. Oh, segala kenikmatan dunia macam apa yang sanggup menawar kegilaanku pada hidanganku, sepiring senja dengan tetesan hujan. Katakan resep khas mana yang sanggup mengepulkan kenikmatan, sebelum hidangan itu dimasak? Tidak adalah, kecuali sepiring senjaku. Habis dilumat sebelum terhidang, teraniyay dagingnya sebelum tiba. Itu itu, senja yang kubicarakan.
Tengok keluar, keluar jauh dari jendela besi tinggi yang merampok keindahan. Sebab di kejauhanlah, langit memasak senjaku. Di atas bara matari yang berkobar-kobar, bersemangat. Memanggangnya menjadi hangat oleh tiupan lembut angin dari utara. Dengan serbuan rempah rempah alam, ditumbuk dan bersuara buk bak buk, dicincang dan berbunyi sek sek sek serta diperas hingga mengernyit tanpa sisa. Semua dituang dalam galaksi, dicampur, diolah. Tangan-tangan langit yang majikal, mengubah terik menjadi hangat. Mengubah gersang menjadi lembab. Dan memunculkan kelembutan dari balik sinisme. Maka terhidanglah senjaku. Di atas sana, jauh dari jendela besimu.

Kini kunikmati sendiri, seporsi senja yang terbaik dimasak bersama dengan guntur. Oleh resapan air langit, senjaku mengental. Di tiap gigitnya aku temukan kebaikan, jauh dari yang manusia bisa tawarkan. Sebuah hidangan yang sehat, namun sepi. Karena hari ini, manusia lain lupa cara menikmati senja. Dibiarkan saja sepiring senja dingin lalu membusuk bersama spora bermain di atasnya. Mari, mari nikmati bersamaku. Iris sedikit dan celupkan rasanya masuk dalam kerongkongan. Dan kita akan jelajahi bias bias dari kepuasan.

he never resist temptation. temptation inspired him



Tolong temukan aku segera, sebab
tubuhku sekarat di bawah keputus asaan.
Begitulah pesan yang ditulisnya dengan raut wajah mengiba hari itu. Ia terbaring tanpa gerakan. Matanya tak berpindah, seperti hari-hari kejayaannya. Ia tak sedang memainkan peran macam penyihir atau pangeran seperti panggung panggung yang biasa mengisi kekosongannya. Ia di situ, tak bergerak, kaku pada satu tarian. Tarian bisu yang menyengsarakan tubuhnya yang telah habis digerogoti dusta dari fakta. Mengiba, mengiba. Namun tak satu mendengar.
Hanya dia, dia seorang. Wanita itu. Yang seumur hidupnya tak pernah meminta lebih dari satu kehadiran. Lebih dari satu kebenaran. Wanita yang terikat oleh pesona pada penculik yang merenggut hari bebasnya. Yang membawanya lari, menyebrangi ujung daratan ke ujung lautan. Wanita itu, istrinya. Tak pernah lari, tak pernah pergi, selama hidupnya hanya mengenal satu kelamin. Milik prianya. Satu orang saja. Yang hari itu, begitu sedih menatapi kesengsaraan maut pada wajah yang pernah mengusap cinta di atas dadanya. Yang kini dengan kerendahan diri, telah mengelupas oleh kesakitan karen cinta lain. Karena sebuah kenyataan dari cinta.
Elishabet, istrinya dengan penuh keyakinan menghantar perjalanan kembali suaminya ke ibu kota. Setelah mengalami pengasingan yang panjang di desa. Pria ini, suaminya itu, adalah seorang pangeran atau dengan sebutan earl of rochester, yang memiliki tabiat untuk menghinakan secara jenaka kenyataan dalam pikirannya. Ia, yang bernama John Wilmot, adalah seorang pujangga sinis yang melihat ketidakwarasan pada pemerintahan yang berlangsung saat itu di Inggris. Tanpa menghiraukan aturan dan tata sistem negara saat itu, ia melontarkan sindiran pada Raja melalui sajaknya yang tak berirama. Yang dengan mudahnya menghantar ia pada pengasingan.
Dan sebuah kebebasan, adalah harga dari sekian lama pengasing bagi John. Segala macam bentuk sinisme dan hasratnya dalam merekonstruksi seni, membawanya masuk pada perjumpaan yang mempesona dengan seorang aktris yang gagal dalam debutnya malam itu. Seolah tersihir pada bayangan yang semu, ia berusaha menjadi seorang pria yang tak bermain pada sekitar hasratnya akan perempuan namum pada seni itu sendiri. ia, yang dengan hebatnya juga mempekerjakan seorang pelayan yang diusir karen perbuatannya mencuri beberapa sen dari majikannya. Oleh sebuah keajaiban, orang –orang ini, pelayan penipu dan pelacur kesayangannya ia akan bergantung hidup seutuhnya.
Aktris panggung yang memikat hatinya melebihi pesona Elishabet, istri yang diculiknya dengan jiwa yang muda dan membara, terus menariknya masuk akan hasrat dunia di atas panggung. Ia bertaruh akan memenangkan sebuah pertunjukan dengan aksi memukau dari dari seorang aktris yang gagal pada debutnya, Lizzie Barry. 20 guineine ia menangkan untuk seorang aktris yang dilatihnya bermain dengan jiwa, seperti ia juga kemudian jatuh hati pada gadis ini.
Sebuah kesuksesan bagi keduanya, membuahkan sebuah tunas harapan oleh Raja pada pujangganya yang nakal ini. Ia meminta John, untuk mementaskan sebuah pertunjukan dan melakukan suatu penghargaan atas dirinya. Namun John yang dengan kecewa akan pengasingannya yang dahulu, meletakan segala kreatifitas, kebrutalan dan sinismenya di atas panggung. Bersamaan dengan jalinan asmaranya dengan Lizzie, ia meninggalkan istrinya di sebuah desa. Ia membangun panggungnya, juga cintanya, dengan sebuah keyakinan akan kenyataan.

Naas, kenyataan membunuhnya kala itu. Raja yang mengamuk dengan lakon seputar kehidupan seks di kalangan pemerintahan, membuat Johh terpaksa lari dan menghilang dari dunia, dari kekasihnya. Selama 6 bulan pencarian besar-besaran atas dirinya. Namun, John yang dengan jeniusnya memotong habis rambutnya dan bermain dari satu desa ke desa lain, sebagai orangl lain hingga membuat setiap tentara yang mencarinya pulang dengan tanga hampa. Raja sangat marah dan mengerahkan segala daya menemukan seorang penghina di atas panggungnya malam itu.
Jauh dari kemarahan raja itu, John bersembunyi bersama seorang pelacur kesayangannya, Jane dan pelayannya alcock. Ia menderita sakit yang menyengsarakan tubuhnya dan merenggut ketampanan dirinya. Sebuah penyakit dari kelaminnya. Akibat ketidakberdayaannya, ia tertangkap dan kembali diasingkan oleh Raja.
Setelah semuanya, ia kembali pulang kepada istrinya yang menyambutnya dengan pelukan hangat yang mengharukan. Walaupun sepanjang kepulangannya, John hanya peduli pada segelas anggur di rumah itu. Toh istrinya mampunya menyingkirkan itu dan menaruhkan dirinya menjadi sandaran terbaik bagi John melebihi anggur jenis apapun.
Ia dirawat, dan dipelihara oleh istrinya. Saat ia sedikit memulih, ia berjalan kembali ke kota untuk menemui Lizzie yang telah menjualnya pada Raja untuk sebuah hiasan berkilau. Ia memohon cinta Lizzie,dengan menggambarkan rumah cinta model apa yang dibangunnya untuk mereka berdua. Sebuah harapan akan anak yang diberi Lizzie untuknya. Dan semua dihempas Lizzie, dengan pernyataan sebaliknya. Ia tak pernah mengharap suatu kehidupan macam apapun bersama John. Dengan putus asa, ia merangkak pergi dan menyadari ia telah kehilangan harga dirinya di hadapan dunia. Yang dicemooh karena keputusannya untuk berdiri pada kenyataan.
Sebuah gerakan terkahir yang dengan indah dilakukannya di hadapan pemerintahan, ia dengan gaya bicaranya yang intelek, yang selalu sanggup mengundang simpati, membantu Raja mendapatkan kembali kepercayaan rakyat. Namun saat ia berbalik, dan Raja mendapatinya untuk berterimakasih, ia dengan segala sinisme dan satirnya pada kerajaan menyampaikan penolakan atas rasa terimakasih Raja, seperti dikutip “I do it for myself” dan ia kembali pulang.
Maka begitulah, seorang pujangga yang sinis menghadpai kenyataan , dicerca dan dihinakan pada saat ia berjalan di atas kebenaran. Berpulang pada usia 33, di pelukan terakhir istrinya yang tak sedetik beranjak dari sisinya hingga satu helai napas melepasnya pergi. John Wilmot, baiklah ia dikenang karena cintanya, kejujurannya dan ketidakterbatasan hasratnya.
johnny depp as John Wilmot
John Malkovich as King Charles
Samantha Morton plays Elizabeth Barry aka Lizzie

Kamis, 02 April 2009

aku di sini

dilihatnya aku cuma satu titik kecil
yang berada pada satu tempat hidupnya
aku tak keberatan
kalau ia lupa memandang pada titik itu
atau bahkan kalau ia tak tahu aku di situ
karena menjadi titik dari satu kertas
takkan pernah merusak keindahan dari kertas itu sendiri.
maka beginilah aku
menjadi titik di antara garis garis yang merusak indahnya
hanya melengkapinya dengan sebuah warna kecil
"hai, aku di sini"

kalau saja

biarkan kugambar sebuah negeri yang baru
dimana waktu hanya berputar pada tempatnya
dimana bumi lupa berotasi
dimana musim lupa berganti
dimana wajahmu tetap begitu
dimana tubuhku takkan melebar ke samping
dimana kita lupa tertidur
dimana yang kita kenal hanya hari ini
tanpa esok
tanpa kemarin
sebuah negeri yang akan melindungimu
bukan dari kejahatan
bukan dari amuk bumi
tapi dari gangguan lalat pada siang kau berlari
kejahilan nyamuk yang mendengung
saat kau tertidur
ini negeri yang kubuat tanpa sumpah
tanpa pertumpahan darah
kita aman disini
bisa bahagia
bisa selamanya
bisa bagaimana juga yang kita mau
negeri suka suka
asal kau suka semua suka
yang semua suka pasti kau suka

kalau saja pensil berwarnaku tidak tumpul kemudian
mungkin negeri kita sudah rampung
sudah siap dihuni
dinikmati keindahan dan bahagianya