Selasa, 31 Maret 2009

kursi betina - achiles and the tortoise

sebuah kursi tua takkan pernah jenuh menanti orang datang mendudukinya. ia takkan pergi dan beranjak kemanapun, walalu di tengan keramaian ia tak tersapa, tak tersentuh. biar waktu pergi meninggalkan ia sendiri, ia takkan merubah fungsinya sebagai sebuah kursi.
haruskah kita wanita belajar dari sebuah kursi?
atau pria yang seharunya dapat lebih bersabar dan setia seperti sebuah kursi?

sebuah film saya nikmati sore ini. bukan jenis kesukaan saya. namun menarik. seorang teman saya datang dan menginap di rumah saya, lalu menawarkan film absurd ini. ide cerita ini adalah soal mimpi seorang anak yang dengan sialnya terobsesi menjadi seorang pelukis. mengapa sial? karena saat disadari adanya sebuah bakat melukis, maka cerita panjang dan menderitanya dimulai pula. pertama-tama ia harus menerima kenyataan bahwa ia bukan seorang anak orang kaya lagi. kedua ia harus bertahan hidup sebatang kara di panti asuhan. ketiga ia harus mengejar mimpi menjadi seorang pelukis. yang saya sungguh heran adalah kenyataan bahwa seumur hidup anak ini (Dari kecil hingga tengah baya) ia benar-benar tak pernah menunjukan emosi pada wajahnya. untuk informasi anak ini adalah pria.
untuk masalah lukisan saya cukup menikmati karya-karya dia sebenarnya. namun yang membuat saya miris adalah bukan bagaimana dia berjuang menjadi seorang pelukis, justru yang membuat saya miris adalah bagaimana ia mempergunakan istrinya untuk mengejar mimpinya. dan anak gadisnya. karena kesulitannya memasarkan hasil lukisannya ia memaksa (secara tidak langsung) istrinya untuk bekerja. dan pada malam harinya istrinya harus membantunya menciptakan karya-karya revolusioner yang diterima di pasaran. lalu karena mereka berdua begitu bersemangat dan berkonsentrasi pada lukisan, anak gadis mereka terpaksa hidup dari prostitusi.
satu scene yang terpaksa menyalahkan mimpi2 pria ajaib ini,
saat ia bertemu dengan putrinya (setelah si putri itu keluar dari rumah karena tidak tahan) hanya untuk meminta uang membeli cat
lalu
saat istrinya bertanya ketika mereka berdua sedang mengerjakan sbuah lukisan
istri : siang aku harus bekerja, malam kau paksa aku temani kau melukis. kapan aku tidur?
suami : lupakan itu...
dan
sebuah adegan dimana
putri mereka terbujur kaku di ruang jenazah, si ibu menangis dan pria ini dengan kejeniusan tingkat insane melukis dengan lipstik wajah putri mereka lalu menjiplaknya ke atas selembar sapu tangannya. dan kemudia istrinya berlari meninggalkannya sambil memaki "insane"

setelah kita semua sama-sama menyaksikan apa yang saya utarakan mungkin anda akan menyadari betapa miripnya wanita dengan sebuah kursi tua yang setia pada tempatnya, kapanpun dimanapun bagaimanapun.
ironisnya, sampai detik terakhir segala kegilaan pria ini sang istrilah yang kemudian mengangkatnya dari keadaan tersampahnya dan memanggilnya pulang ke rumah. yang saya tidak tahu pasti apakah rumah yang dimaksud.
jadi adilkah kami diberlakukan sebagai sebuah objek? yang dinilai dari sebuah nilai dan tolak ukur estetika. dirawat dan dicintai sesuai keindahannya. dan dieksploitasi fungsinya.
kalau benar kami boleh berbangga karena dengan sedikit kesabaran kamilah yang bertahan sampai akhir dan kamilah yang menuntukan kapan kami keluar dari permainan ini atau tidak. jadi setujukah kalian dengan saya, bahwa kita subjek bukan objek. kita tidak butuh adjektif dari pria dan pengakuan dari mereka.

Tidak ada komentar: