Senin, 19 Agustus 2013

sudah tujuh belas kali kutinggalkan panggilan tak terjawab di layar telepon genggammu, dengan harapan kau melihatnya dengan panik. tubuhmu yang lengket berbau hasratnya itu akan berubah seketika jadi ciut seperti nyalimu berterus terang padaku. tujuh belas kali kupanggil-panggil kau lewat telepon, dan tak kau gubris. mustinya kau malu saat duduk mengangkanginya dengan layar telepon genggam yang meraung-raung memanggil namamu. aku harapkan kau berjalan keluar dari kamar itu dengan kepala tertunduk sampai ke tanah dan nyawa yang tinggal sebaris, siap sepak.

kau sudah tak kunanti dengan kemarahan. marahku reda saat telepon yang ke-tujuhbelas kali itu masih saja kau indahkan. tak ada lagi marah. sebab tak ada lagi nanti. aku telah menghancurkan separuh penantianku bersama telepon yang kulempar ke luar jendela. maaf tuan jika itu mengenai kepala anda yang tanpa dosa melintas di bawah apartemenku. tak ada lagi tindakan yang rasanya pas untuk menenangkan diriku.

aku tahu, tahu betul ke mana malam-malam berharga kita kau buang. cerdiknya kau, mereka tak kau letakan berbaring bersama sampah dari dapur. kau buang mereka bersama cairan manimu yang kau tembakan di sembarang lubang. sedang aku berharap waktu kita belum benar-benar rusak. telepon itu kuhancurkan sekalian tadi, biar ikut jadi sampah. sebab itulah satu-satunya bukti aku masih berusaha mendapatkan waktu kita, yang kau buang seperti tak ada lagi artinya.

ah, sungguh berat keluhku ini pasti bagi otakmu yang telah menggelinding menuju celah selangkanganmu. kukatakan saja, tak baik taruh otak di sana. sudah punyamu itu dari kecil, ditambah lagi penghuninya, makin sempitlah ruang geraknya. makin bodohlah kau.

 oh, betapa kuharap anjing memakan tubuhmu di perjalanan pulang nanti. sebab bau persenggamaanmu sama seperti bau sisa-sisa makanan. memualkan bagiku, menggiurkan bagi anjing gelandangan. atau mereka akan memakan tubuhmu karena kau mirip orang bodoh. itu saja. anjing pintar. mereka benci orang bodoh. mudah-mudahan kebencian mereka sebesar kebodohanmu. oh, Pter. biarkan aku tertawa sejenak membayangkan tubuhmu jadi rebutan moncong mereka yang kering.

Tidak ada komentar: