Senin, 20 Juli 2009

dunia memvonisku kanker cinta kronis

Aku mencarimu
Ke tengah lautan
Dan gelombang bilang kau terhanyut hingga sampai kembali di tepian
Aku mencarimu
Ke tengah gurun
Tapi angin berbisik, pasir menyapumu hingga tiba di puncak
Dan aku berlari
Hingga telapak kaki tak menginjak bumi
Melayang
Sampai pada puncak
Tapi
Lagi…
Matahari menyembul dan menyapa
Sayang, sayangmu telah berlalu baru sejenak
Diam
Rasanya ingin begitu
Rasanya sulit sekali merencanakan cinta dan bersepakat bertemu dengannya
Berapa kecepatan cinta dibanding cahaya
Mengapa gurun tak mampu mengikatnya dengan angin
Dan lautan mengulumnya dalam ombak
Nantikan aku
Karena aku berlari
Mencarimu
Mencari terus hingga bertemu
Denganmu…



Sesudah tulisan itu rapi, kutinggal tidur. Dan dalam mimpiku aku lihat kamu, tanpa kain menutupi dada hanya dengan gambar tinta di kulitmu yang memerah di bawah matahari. Yang kau sebut tato. Yang kau tukar dengan air mata saat jarum mulai melukis pori-porimu. Aku ingat sayang, karena aku memimpikannya. Walaupun aku belum hadir saat itu di hari kau membuatnya.
Kau adalah mahkluk paling magis bagiku. Kau bercahaya di saat gelap terlalu pekat untuk ditembus. Dan udara makin menipis saat aku berharap kau hadir. Semakin menipis, saat waktu juga menepis harapan. Kau tak pernah datang, namun hidup. Dan entah kenapa, selalu hadir atau setidaknya seolah selalu hadir. Maka itu kau kusebut magis. Bukan karena kau mempunyai ilmu yang sakti, tapi kau menghipnotis dunia milikku hingga berotasi hanya dekat dengan aroma tubuhmu.
Ya setidaknya begitulah yang aku ingat tentang kamu. Bahkan dalam tidurku, kamu hadir. Bersiul atau bersenandung aku lupa ceritanya. Karena selama 350 malam, kau hadir. Dan bagaimanakah cara aku sanggup menghitung jumlah yang melebihi banyak tangannku, untuk kuhitung atau kuingat. Tapi memang, kau obat biusku. Aku tertidur karena bermimpi tentang kamu, bukan bermimpi karena tidur. Itulah yang membuatmu magis!
Dan dalam lelapku aku berpikir saat aku bermimpi. Bagaimanakah menyertakan mimpi ini , kugunting dan kutempel pada pagi hari? Bisakah potongan cerita mimpi ini jadi kenyataan? Hidup dalam duniaku yang kusam. Ah, untuk dapat memimpikanmmu saja adalah doa yang terkabul di saat aku terjaga. Walaupun tak nyata, bukankah mimpi juga suatu anugerah?
Ya, dan kuputusakan tetaplah begitu. Tetaplah aku tertidur karena telah bermimpi. Tentang kamu yang datang atau tentang kita yangg berjalan. Aku takkan mengganggu potongan mimpi itu. Sekalipun ingin kucuri barang satu saja. Tidak! Akan kubiarkan ini jadi hadiahku, duniaku yang baru. Dan pada saatnya nanti, akan kupetik duniaku sendiri yang nyata

Aku sungguh berharap aku dimengerti. Dengan kelainan pada otak kananku, hingga aku kehabisan kapasitas untuk mencintai secara konstan dari hari ke hari,sampai berganti bulan dan menajdi tahun. Aku mau semua pria mengerti dan menerima. Hingga jangan aku dipersalahkan. Anggaplah aku berpenyakit yang kronis. Tak ada obat untuk mengatasinya. Karena itu pergilah sebelum aku lupa bagaimana caranya mengingatmu.
Seperti halnya malam, begitulah aku jatuh cinta paad setiap pria. Mereka begitu misterius seperti langit yang pekat, dan membangkitkan gairanh untuk bertualang ke dalamnya. Menelusuri bintang yang elok dalam keningnya. Mengarungi galaksi hidupnya yang tertutup kabut. Dingin dan luas… namun begitu matahari datang dan menghangatkan, maka lenyaplah semua pesona mereka dan aku kembali terlelap hingga lupa bagaimana semalam aku memuja langit,seperti itulah aku kehilangan daya untuk mengabdi pada malam.
Sayangnya, kini aku menggilai satu buah malam. Yang berpendar terus di bumiku. Matahari tak kunjung sanggup menggantinya. Aku bermimpi, bahkan ketika bintang bukan ada di atas kepalaku. Melainkan senja yang berselimut oranye. Aku bertahan pada satu buah malam, yang tak sengaja kutemukan di kala matahari buru-buru kembali ke pembaringan. Di situlah aku melihatnya. Ia dengan wajahnya, dan aku tak berbusana. Kami bertemu, aku memandang ia berlalu. Seperti bayangan ia menganggapku. Antara hidup dan tidak.

Tidak ada komentar: