Minggu, 14 Agustus 2011

jangan berisik apalagi berbisik

di ruang tunggu warna senja,
kami duduk mengantri
berhadap-hadapan dengan tembok bisu
membelakangi jendela tempat masuknya cahaya.
kursi melingkar-lingkar membentuk untaian. membuat antrian panjang seolah-olah tak berujung. tidak ada penunjuk waktu, tetapi rasanya semua berjalan terlalu lambat. lambat sampai semua yang menunggu lumat lupa waktu.
selamanya ruang tunggu itu berwarna senja. merah yang mengalir di balik tubuh, hangat yang menjelma menjadi selimut, dan terang yang menyeruak mengisi kekosongan. senja yang abadi, yang luput dari penglihatan.
sekali lagi, kami duduk berhadapan dengan tembok bisu. membelakangi jendela tempat masuk cahaya. tanpa penunjuk waktu. tanpa pintu masuk atau keluar.

suatu hari antrian kami berkurang. entah disadari atau tidak, manusia di ujung kiri atau kanan mulai hilang. tidak tahu bagaimana cara mereka menghilang atau kemana mereka pergi. antrian panjang ini berkurang.
sampai tiba waktunya antrian kami berkurang dan aku menyadari bagaimana dan siapa yang hilang. sebab ia duduk persis di sebelahku. menangis tertawa menunggu bersamaku di ruang ini. ketika hari ia menghilang tiba, ruang tunggu ini rasanya berlari cepat sekali. jendela yang berada di belakangku tiba-tiba mengirimkan angin dingin yang menusuk tulang. cahaya merah yang biasa menghangatkan diganti dengan kelam yang menyelam menjadi airmata. antrian ini berkurang dan aku tahu siapa yang pergi.




kalau kita semua sekarang berada di ruang tunggu, bisakah mencegah antrian ini tak berkurang. setidak-tidaknya mereka yang berada di sebelah kita, jangan lagi menghilang.
kalau ini ruang tunggu
siapa sebenarnya yang kita tunggu?
untuk apa?
mengapa kita harus diletakkan di ruang tunggu ini,
kalau kemudian kita menunggu kembali ke asal?
baiknya jangan dimulai,
kalau semua ini sementara.

Tidak ada komentar: