Selasa, 18 November 2008

PEAK of HARDWORKING




malam ini aku melewati jalanan panjang dalam gemerlap cahaya setelah hujan. jalanan yang basah menggelincirkan roda dengan sempurna, membantuku sampai di rumah lebih awal. selama satu jam perjalanan mata tak bisa kupejamkan, pikiran tak kuasa disuruh beristirahat, sampai kelelahan sendiri memaksanya. akhirnya karenna pemangdangan di luar terasa memikat, kubiarkan mata terjaga dan mengawasi pekatnya malam jakarta
saat mata mengitari dan mengikuti arah laju mobil, pikiran ku melayang-layang masuk ke dalam dimensi waktu yang telah terlewati. ada satu kesesakan yang terlepas,seperti ditekan keluar begitu saja.
kesedihan yang kurasakan kemarin sungguh tiada duanya. terpukul,terhina, direndahkan, tersinggung, terkoreksi, dibenarkan, dan kebingungan...sungguh kepenatan hari lalu masih membekas di kepala. seakan terukir dan sulit dihapus.
hari ini belum selesai kesesakan yang lalu, kami harus menelan pahit kenyataan bahwa dia sangsi dengan kami. dia pesimis, tak yakin dan meminta maaf..kalau project ini tak sesukses pendahulunya.kami sebagai pelaku dituduh tak becus mengeksekusi idea mereka. dan aku hanya diam, kecewa...
tak pernah merasa sebegini salah. salah dalam segalanya,salah dalam memutuskan dan salah dalam menjalani keputusan. seorang temanku begitu terpukul dengan kenyataan itu. ia marah, kecewa dan sakit hati. yang seorang lagi, berusaha menerima kenyataan dan menganggapnya sebagai bagian dari takdir. ia tak kecewa walau memang sedih juga rasanya.
temanku yang terpukul ini begitu tertekan dan meluap murkanya (begitu menurut pandanganku). jadi kami bertiga, aku dan temanku yang pasrah ini, pergi ke toilet menemani temanku yang menderita dalam kesesakan kecewa.
ia bertutur tentang segala ketidakadilan dan keluh kesahnya sebagai pelaku eksekusi. temanku yang lain berdiri di sisinya, berbicara juga menyambar perkataannya.sedangkan aku duduk menghadap temanku yang murka ini. diam dan memperhatikan. sesekali aku pun angkat bicara, seperti "kesesakan mungkin sampai batas tak sanggup menangis" atau "ah, putus asa rasanya". perkataan kecil yang tak membantu apapun.
akhirnya kami bertiga diam. diam dalam persepsi masing-masing. dalam diam itu aku putus asa. apa karena tindak tandukku yang durhaka pada mama di rumah sehingga segalanya berantakan? atau karena kami memang tak becus menjadi pelaku yang dipuja?
tidak tahu
yang kutahu, aku kesakitan sendiri mengenang kembali perkataan sang empunya idea, sang konduktor, bos perkumpulan ini. seolah merasa sangat kecil dan berarti kosong...
di penutup perjumpaan kami terjadi rekonsiliasi kecil atas kejadian kemarin. dan yang terjadi hari ini kusimpan rapat dalam hati, supaya biar tak usah diudarakan dan menimbulkan huru hara.
mataku menangkap kerlipan sorot lampu dari arah berlawanan. menyadarkanku lagi dalam realita yang terjadi pada dimensi saat ini... duduk dalam kelelahan setelah berjuang walau ada kelegaan juga akhirnya.kelegaan satu memang terasa menyenagkan, walau aku tak tahu harus mulai darimana untuk memperbaharui segalanya. segelanya demi kita, demi teman-temanku...




ps: seorang yang kukenal mengatakan ini pada temanku yang pasrah
"keajaiban itu ada di tangan kami"
mungkin ini kunci untuk membuka pintu baru dalam perjalanan kilat kami, semoga

Tidak ada komentar: