Betapa sulit menghabiskan satu porsi senja senja saat ini? Duduk sendiri di hadapan hidangan memukau, sepiring senja disertai tetesan-tetesan air langit yang menggenangi tiap bongkah senja itu. Aku berpikir, akankah nikmat hidangan yang menawan ini jika ditemani barang seorang atau dua. Bahkan kenikmatan akan mengental jika tetesan hujan ini pun dapat merembesi lidah lidah kelaparan para pencoleng, yang siang berkelana hingga lupa bertemu senja. Sebab bagiku, senja adalah ketentraman yang digigit oleh barisan gigi warna warni oleh zat adiktif pada tembakau, yang menhitam kadang menguning. Mencampurkan rasa pahit nikotin dengan kemurnian senja itu. Aku tergila-gila, pada rasa senja yang kunikmati sendirian atau beramai-ramai.
Tidakkah mempesona sebuah senja sanggup memenuhi hasrat yang rindu oelh damai. Sebab bagaikan lukisan agung maha karya abad renaisancelah aku menghayati senja. Lekuknya yang menyimpan sari-sari rasa yang melebihi campuran rempah-rempah dari pelosok bumi manapun, juga dagingnya yang lembut menggetarkan tiap kali kita menggigit ujung atas senja. Seolah lumer pada panasnya rongga mulut kita. Bagai awan, bagai ozon… aku tergila. Oh, segala kenikmatan dunia macam apa yang sanggup menawar kegilaanku pada hidanganku, sepiring senja dengan tetesan hujan. Katakan resep khas mana yang sanggup mengepulkan kenikmatan, sebelum hidangan itu dimasak? Tidak adalah, kecuali sepiring senjaku. Habis dilumat sebelum terhidang, teraniyay dagingnya sebelum tiba. Itu itu, senja yang kubicarakan.
Tengok keluar, keluar jauh dari jendela besi tinggi yang merampok keindahan. Sebab di kejauhanlah, langit memasak senjaku. Di atas bara matari yang berkobar-kobar, bersemangat. Memanggangnya menjadi hangat oleh tiupan lembut angin dari utara. Dengan serbuan rempah rempah alam, ditumbuk dan bersuara buk bak buk, dicincang dan berbunyi sek sek sek serta diperas hingga mengernyit tanpa sisa. Semua dituang dalam galaksi, dicampur, diolah. Tangan-tangan langit yang majikal, mengubah terik menjadi hangat. Mengubah gersang menjadi lembab. Dan memunculkan kelembutan dari balik sinisme. Maka terhidanglah senjaku. Di atas sana, jauh dari jendela besimu.
Kini kunikmati sendiri, seporsi senja yang terbaik dimasak bersama dengan guntur. Oleh resapan air langit, senjaku mengental. Di tiap gigitnya aku temukan kebaikan, jauh dari yang manusia bisa tawarkan. Sebuah hidangan yang sehat, namun sepi. Karena hari ini, manusia lain lupa cara menikmati senja. Dibiarkan saja sepiring senja dingin lalu membusuk bersama spora bermain di atasnya. Mari, mari nikmati bersamaku. Iris sedikit dan celupkan rasanya masuk dalam kerongkongan. Dan kita akan jelajahi bias bias dari kepuasan.
Senin, 06 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar