Bagian Ketiga
“teleponlah. Rindumu tak
kenal kata percuma, kan?”
Seperti tersengat,
laki-laki itu mengambil telepon dan menekan deretan nomer di atasnya. Ketika
saat yang paling ditakutkan datang, menunggu jawaban, ia hanya bisa menatap
perempuan di depannya. Dan detik itu juga, rasa manis yang sesaat tadi hilang entah ke mana, kini telah kembali
dengan kadar yang lebih banyak. Meluap-luap hingga tak mungkin ia tak tenggelam
di dalamnya.
Istriku ini orang baik. Aku suka lupa, dia pun
rindu. Kami sama-sama rindu. Aku dengan egoisnya menyisihkan ia, merindu dua
kali lebih banyak. Ah, biarlah, biar ia tahu aku pun ada untuknya.
Sesaat kemudian, suara
laki-laki ini terdengar meluncur semangat. Cepat-cepat namun berkali-kali. Ada
percakapan. Perempuan ini senang dan lega sekaligus. Akhirnya, penantian
suaminya tiba juga. Anak laki-laki mereka yang belajar di luar kota bisa
mengangkat telepon dari rumah. Sudah lama sekali ia tak pulang. Sudah banyak
sekali kata rindu dikeluhkan suaminya. Hingga ia sendiri sedih karena tak mampu
mengurangi rindu yang menyayat-nyayat pikiran suaminya. Kini nafasnya ringan
setelah tahu suaminya mendapat apa yang selalu dicari di pagi hari, di siang
hari, di sore, di waktu makan malam, di waktu sepi menunggu kantuk, bahkan saat
telah sangaat mengantuk.
“ya.. ya.... kamu
baik-baik ya. Ya, baiklah nanti ayah sampaikan. Hati-hati.”
Percakapan singkat itu
berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar