(tulisan lama yang harus ditaruh di sini)
Bagian Pertama
“halo...”
Lalu suara itu ditelan
lagi. Menunggu beberapa saat sebelum akhirnya putus jadi helaan nafas.
Perempuan yang datang bertanya sambil memberikan cangkir yang penuh dengan air
teh.
“tidak diangkat lagi?”
Laki-laki itu menggeleng.
Tangannya menyapu rambut putih di atas kepala. Ingin rasanya ia benamkan
rambut-rambut itu dalam air teh, berharap supaya warnanya lebih cerah. Ia
berkaca pada imajinasinya sendiri. Tentang betapa tua, betapa lusuh, betapa
lemah ia telah menjadi manusia kini. Berdua dengan perempuan yang sedikit lebih
muda kelihatannya, mereka menghabiskan waku dengan air teh yang mengalir lancar
di tenggorokan.
Di waktu-waktu kosong
begini, teman mereka hanyalah kudapan, teh atau kopi, suara jam yang harus
diputar tiap berhenti di angka 6 atau 12, suara kaki diseret malas, gesekan
alat makan, dan siaran tv yang kehilangan selera untuk dilihat. Jarang ada
tawa. Kata pun sedikit-sedikit meluncur. Itupun kalau ada yang benar-benar
perlu dikomentari.
Laki-laki itu menatap
perempuan yang duduk di hadapannya. Ia berusaha menikmati manis yang masih
tersisa di usia menuju malam itu. dikenangnya senyum yang pernah begitu
sempurna menghias. Ia ingat ketika ia dulu sekali berhasil membawa perempuan
ini naik ke pelaminan. Ia merasa telah menjadi laki-laki paling luar biasa. ia
tidak hanya menenun masa depannya, ia juga mengajak tangan lain menenun
benang-benang itu jadi gambaran luar biasa. namun, ia tak pernah bayangkan,
mereka berdua kini harus bersabar dengan kesepian. Setelah lewat sudah
masa-masa sulit membesarkan buah cintanya, mereka harus bisa kembali lagi ke
masa semua dilakukan berdua untuk berdua. Tapi, ah, tapi... mereka tak muda
lagi. Dan sisa manis yang bisa ia kecap dari perempuan di hadapannya telah
habis disembunyikan keriput.
“aku kangen”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar