Bagian Kedua
Suaranya bergetar. Suara
serak yang selama 25 tahun lebih dipaksa kuat. Kini mereka meluncur tanpa malu
jadi lemah. perempuan itu meletakan
tangannya di atas lengan laki-laki di hadapannya. Ia juga ingin bisa menyenangkan
laki-laki ini. ia cari-cari lagi di mana dulu gairah yang selalu ada di wajah
itu perginya? Laki-laki ini dulu begitu bercahaya. Pagi pun kalah segar
dibanding air mukanya. Selalu ada kehidupan yang ia alirkan lewat tatapan mata.
Bagi perempuan ini, keberadaan wajah itu, tatapan itu, telah cukup kuat untuk
memeluk mereka semua jadi keluarga. Kini, yang tersisa hanyalah batu retak yang
siap hancur kapan saja.
Ia ulurkan telepon pada
laki-laki itu. dengan wajah pasti memintanya menerima. Laki-laki itu hanya bisa
diam dan mengamati gerakan di hadapannya. Haruskah ia balas? Bolehkah ia sekali
ini meluncur hancur jadi manusia renta kehilangan semangat?
“teleponlah... coba
sekali lagi. Dua kali lagi kalau perlu.”
“percuma, takkan ada yang
mengangkat.”
Perempuan ini Cuma bisa
ikut sedih mendengarnya. Ia tak kalah rindu. Rindunya lebih luas dan dalam.
Namun, seperti laut, yang lebih dalam biasanya lebih tenang. Ia simpan rapat
kecemasannya untuk menabung ketenangan bagi pria di hadapannya. Digerakannya
sekali lagi tangannya. Kali ini sedikit memaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar