Kau tahu aku selalu suka kata "ganjil". Tergilagila bahkan. Tidak sepertimu yang gemar mengoleksi koin, aku memilih menyimpan gelang bekas rumah sakit tempat tetangga kita dulu, Nona Eiss, bekerja. Darinya aku bisa dapatkan lebih dari selusin gelang setiap hari pekan. Dan semuanya kujejer rapi di tembok ruang kerjamu. Kebiasaanku itu awalnya membuatmu kikuk. Katamu kau tak suka memperhatikan banyak nama di dinding. Rasanya seperti ruangan itu penuh sesak. Justru itu, Pter, di ruang kerjamu yang juga jadi tempatku menghabiskan waktu membaca, aku merasa nyaman ditemani oleh mereka yang asing itu. Tapi mereka orang sakit dan sebagian dari mereka, Tuhan tahu, mungkin telah mati! Bentakmu suatu kali ketika kau merinding setengah mati bekerja di ruang itu.
Tapi kematian itu menenangkanku. Dan mereka yang sakit hingga nyaris mati, memberiku lebih banyak keyakinan tentang hidup. Mereka seolah ramai membicarakan kehidupan ketika kujejer seperti itu. Gelanggelang itu memberiku banyak nama dan banyak kesempatan merayakan hidup. Seperti kau sekarang Pter, aku sungguh berharap kau masih hidup. Walau bagiku, hidup atau mati dirimu tak lagi terlalu berbeda. Bagiku, segala yang telah hilang baiklah langsung dikuburkan.
Dan kenangan ini, semua tentang yang ganjil ini, menghentikan rangsang untuk mengintip wajahmu dari balik lubang kunci, lagi.
Pter, malam ini dingin. Begitu juga pagi setelah ini kurasa. Musim panas masih jauh dari tiba. Tetapi aku bersumpah takkan lagi membicarakan kasih dan iba yang kadang membangun imaji tentangmu.
(Dan namanama ganjil yang asing di dinding membuatku cukup sibuk untuk berpikir hal lain selain pelukanmu yang dulu pernah begitu hangat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar