Berita mengejutkan itu datang tadi pagi. Baru saja ia akan pergi keluar dari rumahnya, telepon genggamnya berdering. Nada lagu kesukaannya bernyanyi sampai mati dipencet oleh jarinya.
“ya,halo?”
Orang di seberang sana menyahut. Nampaknya tak hanya menimpali dengan sapaan, sebab ia lama diam mendengarkan. Kadang dahinya berkerut dan alisnya melengkung tajam. Kakinya yang tadi sudah menginjakan muka rumah, ditarik kembali ke dalam. Tubuhnya berguncang sedikit saat nada di seberang telepon itu meninggi.
“Bohong ah!”
Serunya tegas, kini ia mengambil posisi duduk di atas sofa ruang tamunya yang berwarna violet. Dipandanginya keluar mobil yang telah sedia mengantarnya pergi. Ia melambaikan tangan pada pak supir, meminta ditunggu. Mesin mobil yang sudah menderu siap berangkat, terpaksa dimatikan. Dan kembali ia berhadapan dengan temannya di ujung telepon sana.
“eh, denger ya. Gue kemaren baru ngbrol sama dia di sekolah. Serius deh! Gue baru abis dimarahin sama dia gitu… ga mungkin lah, mana bisa….”
Dan suara di ujung telepon itu memaksa dipercaya. Memang terdengarn buru-buru. Sehingga ia terpaksa mengangguk saja untuk sementara. Telepon itu terputus.
“halo…halo…?”
Diperhatikannya layar kaca teleponnya, menghilang semua cahayanya. Habis baterei. Ah,sialnya ternyata ia lupa mengisi ulang batereinya semalam. Mengapa selalu begitu, saat dibutuhkan malah sulit didapatkan.
Tangannya masih menarik-narik pipinya, mungkin berusaha meyakinkan bahwa hari ini adalah dunia nyata. Tidak Cuma sekedar ilusi atau mimpi. Ia beranjak dari duduknya dan pergi ke belakang. Ditemuinya ibu sedang mencuci piring dan gelas kotor sehabis sarapan. Ia melihat bahwa itu semua nyata. Semua berunutan. Mulai dari ia sarapan sampai ibunya mencuci piring. Rasanya, mimpi jarang sekali memiliki urut-urutan yang teratur begitu.
“kok belum berangkat?”
Ibu bertanya padanya. Ia mematung. Entah karena tidak tahu kenapa ia masih berdiri atau karena tak berani mengemukakan pendapat yang sebenarnya. Tangannya yang lentik menepis helai rambut yang berjatuhan di atas wajahnya. Mungkin ia gugup, sehingga tak sehelai pun rambut kena dibilas tangannya.
“bu, ibu Im meninggal dunia.”
Ibunya menghentikan aktivitas tangannya, membiarkan tangan itu terkena deras air keran. Wajahnya menampkan muka terkejut, lebih-lebih karena mendengar itu di pagi hari begini.
Ia mengusap punggung ibunya. Seolah ingin membantu ibunya mengerti bahwa inilah kenyataannya. Karena begitulah ia beberapa menit yang lalu, belum bisa menerima bahwa ini nyata dan sedang terjadi!
“kok bisa….”
Seperti merasa bodoh dengan pernyataanya itu, ibu mematikan keran dan mengumpulkan kesadarannya. Ia mengelap tangannya yang licin oleh sabun, dan meninggalkan ruang belakang rumah itu. Seolah tergesa-gesa untuk melakukan suatu hal. Ia tahu, ibunya pasti sibuk memberitahukan hal ini ke ibu-ibu perkumpulan orangtua murid. Mengabarkan berita duka ini atau menanyakan kebenarannya. Ia sendiri masih berdiri terpekur di tempatnya tadi. Memperhatikan air cucian piring yang berbusa itu perlahan-lahan ditarik ke bawah dan lenyap dari bak cucian. Mungkin, begitulah hidup kita. Suatu saat akan lenyap juga. Saat sudah tak terpakai, saat sang empunya membiarkan kita menua sendiri. maka kita juga akan terhisap kembali ke tanah. Namun, Bu Im belum begitu tua. Usianya sepantaran dengan ibunya. Apakah pantas meningal begitu.
Ia berjalan masuk dan mendapati ibunya tengah seru berbicara di telepon.
“ya… benar bu. Saya juga shock! Iya, saya dengar dari Lial. Anak saya…”
“lho anak ibu ga bilang? Lial sih langsung bilang. Bahkan dia jadi belum berangkat ini ke sekolah.”
“begitu ya bu,ibu datang ke sekolah? Oh, ok lah. Kita ketemu di sana ya bu. Sampaikan ke yang lain,bu.”
Telepon dimatikan. Lial masih diam tak mempercayai segala hal yang terjadi di depan matanya. Bukankah ia tadi hanya mau ke sekolah seperti biasa. Melangkahkan kaki menuju mobil yang siap sedia mengantar. Dan dalam 10 menit ke depan, ia telah duduk di ruang kelas berbagi jawaban pekerjaan rumah yang enggan diselesaikan di rumah.
“ibu ikut kamu ya. Tunggu ibu di mobil,ibu siap-siap dulu. BIK!”
Ibu menghilang dari ruang makan. Yang terdengar hanyalah gema suaranya memanggil bibik. Lial berjalan menuju pintu keluar dan masuk ke dalam mobil. Menunggu ibu bersiap-siap rasanya hanya sekejap. Sebab ia baru saja memikirkan bagaimana keadaan sekolah tanpa bu Im, kepala sekolah mereka yang begitu berkuasa. Dan ibu telah duduk di sampingnya, memberikan perintah untuk melaju pada pak supir. Lial membuang muka keluar jendela. Matahari yang tadinya masih malu-malu mengintip di balik awan malam, kini telah menguasai langit. Bersinar dengan bangganya pada warna warninya. Ia mendapati kesan begitulah ibu Im, namun lebih tak ramah.
Mobil itu tiba di depan gerbang sekolah yang ramai dengan mobil-mobil dan orang-orang hilir mudik. Suasana sekolah begitu bising pagi itu. Sepertinya semua orang hadir dan merasa perlu hadir. Memang begitulah resikonya, Ibu Im tinggal di sekolah. Sehingga meninggal pun pasti dirayakan di sekolah. Apalagi ia seorang kepala sekolah yang begitu pandai menebar senyum dan menarik perhatian orangtua murid. Pastilah banyak orang yang ikut-ikutan menjadi sibuk mengurusi ini itu.
Lial sendiri tak peduli dengan tetek bengek yang mengitari prosesi pemakaman ibu Im. Yang ingin ia lakukan sekarang adalah melihat ibu Im untuk yang terakhir kalinya. Memang ia tidak pernah menyukai ibu Im. Semua juga tahu siapa itu Ibu Im, si kepala sekolah yang gemar menyebarkan teror di kalangan stafnya dan murid-murid. Namun jika sudah bersangkutan dengan orangtua murid dan uang, senyum pada wajahnya yang datar itu akan lebih lebar dari bulan sabit. Sungguh kemampuan “berhubungan” yang luar biasa. Semua murid di sekolah itu bilang, Ibu Im begitu karena tak berkeluarga. Wajar kalau waktunya banyak tersisa untuk mencampuri urusan yang bahkan bukan urusannya.
Ya, itulah ibu Im yang Lial kenal selama hampir 3 tahun ini. Tapi apa mau dikata, dia telah pergi. Tanpa sempat mengucapkan apa-apa, kecuali peristiwa kemarin. Lial habis dibentak-bentak olehnya, masalahnya sepele. Lial tipikal orang yang tak mau kalah dalam adu pendapat, dan Ibu Im orang yang tak mau ditentang satu kata pun. Sehingga tiap kali Lial mencoba memberikan argumen, Ibu Im membalas dengan bentakan dan ancaman. Apakah itu membuat LIal takut? Tidak, Lial makin ngotot mempertahankan pendapatnya.
“kamu sudah berubah,Lial. Tidak seperti Lial yang ibu kenal saat kelas 1…”
Lial tertawa dalam hati mendengar pernyataan dari Ibu Im. Ini memang senjata ampuh setiap manusia manapun jika menghadapi orang yang telah menjadi oposisinya. Ia akan berpura-pura mengenal dan mengajukan tuduhan kita berubah. Padahal jika orang itu benar mengenal kita, orang itu takkan mendakwa kita begitu sekalipun benar kita berubah. Karena peruban itu mutlak dan pasti. Sayang ibu Im yang adalah seorang kepala sekolah berkuasa itu hanyalah manusia biasa yang menggunakan bahasa yang biasa untuk menghentikan langkah orang yang tidak ia sukai.
Itu adalah kalimat terakhir Ibu Im untuk LIal, adegan terakhir di sore hari saat sekolah sudah sepi. Lial terpaksa tinggal untuk menyelesaikan tugasnya yang belum selesai. Kebetulan ia berpapasan dengan IBu Im, maksud hati ingin menyampaikan keluh kesahnya pada Ibu Im ia malah kena semprot kata-kata beracun.
Sore itu di depan mading lantai 2. Lial masih ingat betul itu terjadi di sini. Ibu Im menghadap mading dan ia membelakangi jendela di sebelah mading. Membuat wajah Ibu Im disoroti oleh sinar matahari senja yang kemerahan. Entah karena daya imaji Lial yang tinggi atau memang sinar mataharinya, namun wajah Ibu Im berubaha menjadi kemerahan saat murka padanya. Bukan merah padam yang biasa ditemukan, namun merah seperti iblis. Memang, Lial tidak pernah suka padanya. Sehingga mungkin ketidaksukaanya menguasai imajinya. Ia tidak menyangka orang itu pagi ini telah ditelan oleh bumi kembali ke pusarannya.
“heh!”
Pukulan pada bahunya itu membawa ia kembali ke hari ini, setelah sibuk mengenang Ibu Im kemarin. Ia berbalik badan dan mendapati Sara berdiri di hadapannya. Sara ini sahabatnya sejak kelas 1, dia juga yang tadi memberi tahunya masalah kematian Ibu Im. Rasanya ingin digeplaknya muka Sara yang sok-sok bermuram durja ikut terharu dengan suasana.
“ke ruang osis gih lo! Uda ditungguin ama yang lain, parah banget sih…”
“iya,sabar. Kenapa muka lo? Sedih?”
“iya nih, sedih banget… hahaha”
“sst, jangan ketawa-ketawa dong Sar. Lo ga liat orang-orang di sekitar kita itu semua pada masih tercengang sama kabar ini. Nanti dikiranya lo ga tau sopan santun lho…”
“ah, mereka kan begitu karena bingung aja mau sedih apa lega. Orang-orang tua yang ada di sini itu, semuanya uda muak sama Ibu Im. Lo liat tuh muka guru-guru antara sedih karena ritual sama senang karena akhirnya kemerdekaan berhasil direbut!”
“apaan sih, direbut?! Kesannya mereka yang bikin Ibu Im meninggal…”
“emang, lo sih datangnya lama. Ketinggalan gosip kan. Eh tuh, dipanggil sama anak osis!”
Lial masih memandangi Sara tidak percaya. Ibu Im meninggal terencana?! Kalau saja pintu ruang osis tidak segera ditutup, ia mungkin masih terus menatap pada kedua bola mata Sara yang tak pernah berbohong itu. Tiba-tiba ia mengerti, mengapa di usianya yang masih belum tua itu Ibu Im harus sudah kembali ke pusarannya. Karena ia adalah air busa yang dipaksa mengalir ke bawah atau dengan kata lain ia dikondisikan meninggal.
Sebenarnya Lial agak sedikit bergidik mendengar kenyataan itu. Karena setelah mengalami perseteruan hebat dengan Ibu Im ia merasa ingin membunuh Ibu im secepat angin yang menghembus di sekitar telinganya yang merah karena murka. Namun untung angin membisikan kata-kata penghiburan. Sehingga yang bisa ia lakukan adalah merelakan perbuatan Ibu Im padanya. Ia tidak menyangka kalau di luar sana ada orang yang lebih berbulat tekat untuk mengkondisikan kematian Ibu Im.
“racun di ruang ber-AC,anak-anak…”
Suara bapak Dui tedengar di sela-sela lamunannya. Lial berusaha bertanya apa yang sedang dibicarakan, ternyata penyebab kematian Ibu Im. Racun dari AC. Lial ingin tertawa terbahak-bahak sebenarnya. Namun ia menjaga diri. Bahkan AC kamarnya berniat membunuhnya dan telah berhasil membunuhnya.
Bapak Dui kemudian bicara lagi mengenai beberapa hal, namun Lial telah begitu jauh melamunkan proses kematian Ibu Im. Ini terjadi pasti setelah pertengkaran hebatnya dengan Ibu Im. Lalu Lial pergi ke kantin dan menangis pada udara di sekitarnya. Udara kesedihan dan keputus asaan Lial yang dihembuskan, bertemu dengan udara keluh kesah, kebencian dan amarah lain yang datang dari semua orang yang dihinakan dan disiksa batin oleh Ibu Im. Udara-udara ini kemudian membentuk sebuah konspirasi dengan udara lain yang tinggal di sekitar Ibu Im. Udara-udara yang tinggal di sekitar Ibu Im ternyata sudah sangat muak harus dihirup oleh paru-parunya yang hitam karena penuh dengki dan amarah kemudian ditiupkan melalui hidungnya yang besar dan berminyak itu.
Maka begitulah kemudian, udara-udara itu keluar melalui AC dan menyerang Ibu Im sampai mati. Udara itu diidentifikasi sebagai racun AC,padahal orang-orang itu tidak tahu ada konspirasi yang begitu jenius di balik kematian ibu Im.
“nah,Lial kamu kasih kata-kata terakhir mewakili seluruh siswi untuk Ibu Im ya.”
Pak Dui menutup rapat singkat untuk melepas kepergian Ibu Im, kepala sekolah mereka yang berkuasa dulunya. Lial masih setengah sadar saat mengangguk menyanggupi tugasnya sebagai humas osis itu. Ia segera memikirkan kata-kata yang akan dirangkaikan untuk melepas kepergian Ibu Im.
Lial dan yang lain keluar dari ruang osis itu. Ia memutuskan akan berjalan mengitari sekolah untuk mendapat pencerahan akan kata-kata yang harus disampaikannya. Ia melihat ke sekeliling sekolahnya, memang asri. Ia ingat betul pernah melihat ibu Im menyiram dan merawat taman di sekolah ini. Kemudian ia berjalan lagi, dan ditemukannya ruang lab komputer yang baru diganti denga komputer terbaru dan tercanggih. Ya, ibu Im memang mengusahakan kemajuan teknologi di sekolahnya, termasuk pemasangan hotspot di mana-mana. Dua saja sudah ia kumpulkan untuk dikatakan. Kemudian ia bertemu Sara. Menceritakan tugasnya kepada Sara.
“gampanglah,li… kata-kata terakhir itu sebaiknya disampaikan dari hati lo. Coba rasain kesan Ibu Im di hati lo.”
Liar berdiam diri sejenak dan menyadari sesuatau.
“ya, gue tau gue akan ngomong apa Sar.”
Bel pengumuman untk berkumpul di lapangan pun berbunyi, suara dari mesin pengeras suara milik sekolah. Maka ia dan Sara bergegas turun ke bawa dan bergabung dengan siswi,orangua dan guru-gur yang lain. Semuanya bertujuan sama melepas kepergian Ibu Im. Nama Lial dipanggil ke depan untuk memberi kata-kata terakhir dari siswi-siswi. Lial maju dengan langkah sedikit gamang. Berdiri di hadapan orang sebanyak itu tidaklah mudah. Ia melihat wajah-wajah yang tidak asing lagi. Teman-temannya, guru-guru dan ibunya sendiri.
“kita semua berkumpul di sini pagi ini, karena sebuah berita yang mengejutkan. Ibu Im
meninggal dunia. Saya pribadi terkejut, kita semua terkejut. Karena itu kita semua berkumpul disini…”
Hening. Benar-benar hening, tak ada satu pun yang bersuara. Atau menangis.
“ibu Im adalah kepala sekolah yang berkuasa penuh atas segalanya. Ia memiliki sekolah ini bahkan sampai tinggal pun di sekolah ini. Jika ada yang mencintai sekolah ini dengan amat sangat, dialah orangnya.”
Semua orang mengangguk setuju, bahkan guru-guru dan para murid.
“buktinya, kita bisa melihat taman yang indah, perlengkapan sekolah yang mutakhir bahkan kabarnya akan dibangun sebuah gedung baru untuk memperindah sekolah ini. Dan itu semua tidak mudah dan murah, jadi pantaslah kita menyebutkan itu sebagai bukti cinta Ibu Im pada sekolah ini…”
“namun, segala yang saya ingat tentang ibu Im adalah dia begitu mencintai sekolah ini. Titik.
Saya rasa, karena cintanya yang begitu besar,ia lupa. Sekolah ini punya kehidupan. Dan kehidupan itu ada saya,teman-teman saya dan para guru. Ia memang memperindah sekolah ini, namun ia merampas kehidupan kami di sekolah ini. Tangis kami menjadi air untuk taman yang indah itu tumbuh subur. Keluh kesah kami menajdi jaringan kabel yang memperlengkapi sekolah kami… dan semuanya. “
Semua nafas ditahan mendengar seruan kecil dari Lial. Mata-mata memperhatikan dengan seksama.
“saya tidak akan menebar kebencian pada beliau, namun saya hanya akan menyampaikan kata-kata yang seharusnya saya dan kita semua sampaikan lebih awal padanya. Ibu Im pernah bilang, saya berubah. Saya mau bilang, Ibu tidak pernah kenal saya dari awal hidup saya, atau teman-teman saya atau para guru.”
Siswi-siswi mengangguk-angguk berani. Beberapa mulai membisikan pendapatnya. Mereka semua setuju. Para guru ikut mnegiyakan, walaupun begitu tipis pernyataan mereka.
“jadi, memang… ini sudah waktunya kita untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Karena saya tak menemukan alasan untuk tidak melepaskannya. Terimakasih Ibu Im,telah meninggalkan sekolah yang begitu indah dan modern.”
Semua orang bertepuk tangan riuh. Para siswi berkumpul dan membentuk suatu kumpulan besar. Mereka saling berpelukan sambil menangis. Guru-guru juga berjabat tangan satu dengan yang lain. Mereka semua seolah merayakan suatu pesta besar, semacam pesta kemeredekaan lepas dari kungkungan kehidupan selama ini. Orangtua-orangtua kemudian segera membawa Ibu Im pergi untuk dimakamkan.
Jadi beginilah hidup ternyata, bukan tentang apa yang bisa kita terima di dalamnya. Namun apa yang bisa kita tinggalkan saat kita pergi. Apakah kita ingin kepergian kita dirayakan karena begitu disayang atau memang dirayakan pergi karena diinginkan segera pergi.
Air busa itu telah kering dan mengundap di bawah got rumah Lial… tanpa bekas untuk dikenang bentuknya.
Senin, 10 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar