Aku hidup dalam lukisan untuk waktu yang lama. Menikmati gemerlapnya warna-warni yang membalut tubuh ini. Membiarkan segala objek pendukung lukisan yang memuat diriku mengabur dalam riuhnya pengertian banyak orang yang menikmati. Aku tidak pernah merasa keberatan jika kemudian mereka tertawa dan bahagia melihat lukisan hidupku begitu. Atau membuang muka,meludah, mencibir dan menyatakan antipati pada lukisan hidupku yang mengumbar ironi. Semua berhak berpikir tentang hidupku, mengartikan warna-warni yang ditumpahkan di atasnya. Menuduh, mengartikan ini dan itu. Aku takkan membela lukisan itu. Aku akan menikmati kata-kata yang mereka lontarkan. Bahkan aku menambahkan warna untuk membuat mereka makin antusias mengkritik habis-habisan lukisan hidupku. Dan aku tertawa menikmatinya.
Untuk waktu yang lama aku menikmatinya. Dan untuk hari ini, aku merasa begitu hitam dan putih. Terbaring di atas kanvas yang merapikan segala gairahku untuk menciptakan pose-pose baru dalam lukisan. Aku kehilangan energi untuk menembus batas pikiranku saat seorang menunjuk wajahku dan berkata :
“DIA HITAM PUTIH!”
Hitam tidak buruk, begitu pula putih. Namun belum pernah ada yang menuduhku begitu hitam atau putih. Semua menyebutkan warna. Menganalisis merahku, biruku atau kuningku. Tidak sekalipun mengucapkan hitam dan putih. Kemudian susut sudah kegembiraanku menikmati pujian atau celaan. Sebab aku tidak tahu, apakah itu pujian atau celaan. Saat ia mengucapkannya…
Dan begitu saja setelahnya. Ia mengamati lukisanku. Lalu berjalan menjauh. Namun matanya tak lepas dari lukisan hidupku. Sesaat setelah ia berpaling dan matanya melepaskan diri dari lukisanku, saat itu juga seluruh warnaku tumpah ke atas lantai. Dan menyisakan hitam dan putih yang pekat. Aku merasa begitu telanjang dan tak indah. Aku bahkan tidak mampu kembali ke atas permukaan dinding dan menikmati subjektivitas orang dalam menilai lukisanku. Rasanya seluruh lukisanku terangkat lalu terbang menuju gerbang yang terisolasi di antara batas ruang nyata dan semu. Baru pertama kali aku merasa begitu hilang, begitu polos begitu dingin begitu ironis.
Saat aku menjelajahi ruang batas semu dan nyata, aku tertunduk malu menghadapai kenyataan aku begitu tak berwarna. Pucat dan mengerikan. Melewati deretan lukisan tanpa nama yang bergerak-gerak dalam warna-warni yang dinamis. Aku cemburu.
Hari itu, minggu yang cerah dengan hujan turun di atas kepalaku. Tak ada matahari, namun tak mendung kelabu. Udara lembab menyentuh ujung-ujung jari kakiku. Aku mendengar suara angin bergerak lemah di sisiku. Namun aku tak mendengar apapun sekalipun kepalaku tahu pesta itu berlangsung di lantai bawah. Di atas atap ini, aku menyentuh langit yang basah dan daratan yang lunak karenanya. Aku merasa menjadi bagian dari sebuah bumi raksasa yang tidak pernah kumiliki. Duniaku adalah lukisan dimana warna-warni di dalamnya ternyata semu. Lukisan yang tadinya kupikir tak pernah terbatas, yang ternyata hanya sejauh bingkai di kanan-kiri, atas-bawah.
Tak ada ruang bagiku untuk bergerak, sebab ternyata aku menghuni mimpi bukan realita. Pantas, aku begitu merasa indah. Aku begitu mencintai hidup. Sebab aku bernafas dalam mimpi. Kenyataan duniaku adalah pesta yang riuh di bawah kakiku itu. Di dalam gedung, di mana kakiku menginjak atapnya. Aku tak pernah suka keramaian. Aku tak suka tersenyum terlalu banyak sebab saat tersenyum aku menarik urat-urat wajahku dan membuat lelah dahiku. Saat sendiri aku akan melepaskan ekspresi dan polos tanpa senyum atau cibiran. Di tengah keramaian, aku merasa begitu berwarna. Padahal nyatanya aku hanya hitam dan putih, persis seperti apa yang dikatakannya.
Hidupku sempurna saat orang menilai warna biru dan merah yang selalu kugunakan. Namun saat aku terbang ke atas atap ini, aku berubah menjadi kelabu tanpa warna yang mampu mewakili.
Seminggu yang lalu aku baru saja berpisah dengan temanku yang berhubungan mesra denganku. Kami putus walau tak pernah menyambung satu helai status. Kami berpisah mungkin lebih tepat. Tahunan di hidupku rasanya penuh dengan gambarnya. Aku tertawa karena menikmatinya. Aku menangis saat tak punya waktu menghampirinya. Dan selalu begitu. Saat pagi datang menjemput aku tahu, hari ini untuknya. Kemudian ketika petang mengembalikanku ke peraduan aku pun tahu, tubuhku dan tubuhnya jadi satu di bawah malam. Kami mencintai mimpi kami, walau tak pernah mengerti apa yang kami jalani. Begitu terus sampai petir menyambar punggungku dan membangunkanku dari mimpi indah yang terlalu panjang. Aku tidak memiliki apapun darinya, dan ia tidak menginginkanku untuk dimiliki. Maka saat angin kemudian mengangkat tubuhku dari sisinya, ia hanya mematung sampai aku kehilangan sepenuhnya gambar wajahnya.
Jika karena itu aku merasa begitu hitam dan putih, maka tertawalah di atas kepalaku. Sebab rasanya begitu naif diri ini. Semua juga tahu tahunan yang kami lewati hanya selingan sebelum dirinya mendapatkan ratu hatinya. Aku tidak pernah dianggap begitu sempurna bagi siapapun. Walaupun dalam praktiknya, orang menganggapku tak tergapai. Aku takkan remuk walau oleh badai dan takkan luluh lantak ditelan ombak. Mereka melihatku bagai melihat menara yang menjulang menyentuh langit dan tertanam di atas tanah yang mengeras.
Kenyataannya, aku hanyalah hitam dan putih. Lukisan tanpa warna yang menarik mata.
Di atas atap ini aku merasakan hujan tidak saja jatuh di atas tubuhku, rasa-rasanya hujan yang jatuh ke bumi menyelimuti tubuhku dengan erat. Tidak membiarkanku jatuh dalam airmata. Membuat aku dingin dan membeku. Merekatkanku dengan kehangatan yang dingin di antara sela-sela air yang jatuh.
Pagi ini, baru pagi ini aku tahu apa makna pesta di dalam gedung ini. Pesta megah dengan ribuan undangan dalam balutan emas dan mutiara. Bersama musik yang melayang di atas ruangan tanpa batas dinding itu. Menggoda siapapun untuk menggoyangkan tubuh walau hanya petikan jari di udara. Riuh rendah tawa dihantarkan angin sampai ke pintu masuk telingaku, namun hujan menepisnya dan membiarkanku tetap dalam keheningan. Sebab dalam keheningan di batas dunia ini aku merasakan betapa sunyi sebenarnya pesta di bawah. Mereka semua telanjang dan tak mengenal arah. Tidak peduli apa yang mereka hisap, telan habis sampai kepala bersatu dengan udara. Tenggak semua cairan yang mampu menggantikan darah yang dihisap habis oleh hidup. Dan buang penat dalam asap-asap yang mengepul, menggantikannya dengan racun ke dalam tubuh. Sama sepertiku, mereka semua naif dan tak sempurna. Mereka semua kehilangan apa yang tidak pernah mereka miliki dan menceraikan hubungan yang tak pernah dibangun. Pesta itu hanyalah sebuah metafor untuk menepis sakit yang sama yang kurasakan dipagi yang basah ini.
Kami semua, termasuk aku yang berdiri jauh menonton pertunjukan amatir-amatir itu bersandiwara dalam “pesta” hanyalah sekumpulan lukisan yang belum mengisi diri dengan warna. Kami hidup dalam lukisan, dan untuk waktu yang lama kami menikmatinya. Melebihi candu apapun kami mencintai hidup kami dalam lukisan. Bahagia atas pendapat orang dan menginginkannya terus dan terus. Menambah warna di dalamnya, yang sebenarnya bukan warna diri kami. Sehingga akhirnya kami ditinggal pergi oleh apa yang kami inginkan untuk tinggal. Kami berdandan sampai ruangan penuh bedak, dan dinding dibalut gincu. Tapi terlambat, kami telah kehilangan bentuk kami. Sebab kami gambar 2dimensi di atas kanvas yang terbatas bingkai.
Mungkin saja, jika pagi ini hujan tidak turun dan langit tidak tertawa melihat hitam dan putihnya aku, mungkin saja aku hanya akan terus terbaring sampai waktu membunuhku dan mengangkatku dalam dunia semu tanpa batas. Untunglah air hujan ini jatuh di atas kepalaku dan menyegarkan kepalaku. Betapa cemburunya aku pada dunia yang berputar dalam warna-warni abadi tanpa pernah luntur. Sebab untuk waktu yang lama, aku menikmati hidup di dalam lukisan.
Dan begitu saja setelahnya. Ia mengamati lukisanku. Lalu berjalan menjauh. Namun matanya tak lepas dari lukisan hidupku. Sesaat setelah ia berpaling dan matanya melepaskan diri dari lukisanku, saat itu juga seluruh warnaku tumpah ke atas lantai. Dan menyisakan hitam dan putih yang pekat. Aku merasa begitu telanjang dan tak indah. Aku bahkan tidak mampu kembali ke atas permukaan dinding dan menikmati subjektivitas orang dalam menilai lukisanku. Rasanya seluruh lukisanku terangkat lalu terbang menuju gerbang yang terisolasi di antara batas ruang nyata dan semu. Baru pertama kali aku merasa begitu hilang, begitu polos begitu dingin begitu ironis.
Saat aku menjelajahi ruang batas semu dan nyata, aku tertunduk malu menghadapai kenyataan aku begitu tak berwarna. Pucat dan mengerikan. Melewati deretan lukisan tanpa nama yang bergerak-gerak dalam warna-warni yang dinamis. Aku cemburu.
Hari itu, minggu yang cerah dengan hujan turun di atas kepalaku. Tak ada matahari, namun tak mendung kelabu. Udara lembab menyentuh ujung-ujung jari kakiku. Aku mendengar suara angin bergerak lemah di sisiku. Namun aku tak mendengar apapun sekalipun kepalaku tahu pesta itu berlangsung di lantai bawah. Di atas atap ini, aku menyentuh langit yang basah dan daratan yang lunak karenanya. Aku merasa menjadi bagian dari sebuah bumi raksasa yang tidak pernah kumiliki. Duniaku adalah lukisan dimana warna-warni di dalamnya ternyata semu. Lukisan yang tadinya kupikir tak pernah terbatas, yang ternyata hanya sejauh bingkai di kanan-kiri, atas-bawah.
Tak ada ruang bagiku untuk bergerak, sebab ternyata aku menghuni mimpi bukan realita. Pantas, aku begitu merasa indah. Aku begitu mencintai hidup. Sebab aku bernafas dalam mimpi. Kenyataan duniaku adalah pesta yang riuh di bawah kakiku itu. Di dalam gedung, di mana kakiku menginjak atapnya. Aku tak pernah suka keramaian. Aku tak suka tersenyum terlalu banyak sebab saat tersenyum aku menarik urat-urat wajahku dan membuat lelah dahiku. Saat sendiri aku akan melepaskan ekspresi dan polos tanpa senyum atau cibiran. Di tengah keramaian, aku merasa begitu berwarna. Padahal nyatanya aku hanya hitam dan putih, persis seperti apa yang dikatakannya.
Hidupku sempurna saat orang menilai warna biru dan merah yang selalu kugunakan. Namun saat aku terbang ke atas atap ini, aku berubah menjadi kelabu tanpa warna yang mampu mewakili.
Seminggu yang lalu aku baru saja berpisah dengan temanku yang berhubungan mesra denganku. Kami putus walau tak pernah menyambung satu helai status. Kami berpisah mungkin lebih tepat. Tahunan di hidupku rasanya penuh dengan gambarnya. Aku tertawa karena menikmatinya. Aku menangis saat tak punya waktu menghampirinya. Dan selalu begitu. Saat pagi datang menjemput aku tahu, hari ini untuknya. Kemudian ketika petang mengembalikanku ke peraduan aku pun tahu, tubuhku dan tubuhnya jadi satu di bawah malam. Kami mencintai mimpi kami, walau tak pernah mengerti apa yang kami jalani. Begitu terus sampai petir menyambar punggungku dan membangunkanku dari mimpi indah yang terlalu panjang. Aku tidak memiliki apapun darinya, dan ia tidak menginginkanku untuk dimiliki. Maka saat angin kemudian mengangkat tubuhku dari sisinya, ia hanya mematung sampai aku kehilangan sepenuhnya gambar wajahnya.
Jika karena itu aku merasa begitu hitam dan putih, maka tertawalah di atas kepalaku. Sebab rasanya begitu naif diri ini. Semua juga tahu tahunan yang kami lewati hanya selingan sebelum dirinya mendapatkan ratu hatinya. Aku tidak pernah dianggap begitu sempurna bagi siapapun. Walaupun dalam praktiknya, orang menganggapku tak tergapai. Aku takkan remuk walau oleh badai dan takkan luluh lantak ditelan ombak. Mereka melihatku bagai melihat menara yang menjulang menyentuh langit dan tertanam di atas tanah yang mengeras.
Kenyataannya, aku hanyalah hitam dan putih. Lukisan tanpa warna yang menarik mata.
Di atas atap ini aku merasakan hujan tidak saja jatuh di atas tubuhku, rasa-rasanya hujan yang jatuh ke bumi menyelimuti tubuhku dengan erat. Tidak membiarkanku jatuh dalam airmata. Membuat aku dingin dan membeku. Merekatkanku dengan kehangatan yang dingin di antara sela-sela air yang jatuh.
Pagi ini, baru pagi ini aku tahu apa makna pesta di dalam gedung ini. Pesta megah dengan ribuan undangan dalam balutan emas dan mutiara. Bersama musik yang melayang di atas ruangan tanpa batas dinding itu. Menggoda siapapun untuk menggoyangkan tubuh walau hanya petikan jari di udara. Riuh rendah tawa dihantarkan angin sampai ke pintu masuk telingaku, namun hujan menepisnya dan membiarkanku tetap dalam keheningan. Sebab dalam keheningan di batas dunia ini aku merasakan betapa sunyi sebenarnya pesta di bawah. Mereka semua telanjang dan tak mengenal arah. Tidak peduli apa yang mereka hisap, telan habis sampai kepala bersatu dengan udara. Tenggak semua cairan yang mampu menggantikan darah yang dihisap habis oleh hidup. Dan buang penat dalam asap-asap yang mengepul, menggantikannya dengan racun ke dalam tubuh. Sama sepertiku, mereka semua naif dan tak sempurna. Mereka semua kehilangan apa yang tidak pernah mereka miliki dan menceraikan hubungan yang tak pernah dibangun. Pesta itu hanyalah sebuah metafor untuk menepis sakit yang sama yang kurasakan dipagi yang basah ini.
Kami semua, termasuk aku yang berdiri jauh menonton pertunjukan amatir-amatir itu bersandiwara dalam “pesta” hanyalah sekumpulan lukisan yang belum mengisi diri dengan warna. Kami hidup dalam lukisan, dan untuk waktu yang lama kami menikmatinya. Melebihi candu apapun kami mencintai hidup kami dalam lukisan. Bahagia atas pendapat orang dan menginginkannya terus dan terus. Menambah warna di dalamnya, yang sebenarnya bukan warna diri kami. Sehingga akhirnya kami ditinggal pergi oleh apa yang kami inginkan untuk tinggal. Kami berdandan sampai ruangan penuh bedak, dan dinding dibalut gincu. Tapi terlambat, kami telah kehilangan bentuk kami. Sebab kami gambar 2dimensi di atas kanvas yang terbatas bingkai.
Mungkin saja, jika pagi ini hujan tidak turun dan langit tidak tertawa melihat hitam dan putihnya aku, mungkin saja aku hanya akan terus terbaring sampai waktu membunuhku dan mengangkatku dalam dunia semu tanpa batas. Untunglah air hujan ini jatuh di atas kepalaku dan menyegarkan kepalaku. Betapa cemburunya aku pada dunia yang berputar dalam warna-warni abadi tanpa pernah luntur. Sebab untuk waktu yang lama, aku menikmati hidup di dalam lukisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar