Kata-kata yang meluncur cepat dari seluruh rasa yang dapat kugapai sekarang. Mencari arti dari tiap jengkal yang kunikmati, yang kusukai dan kurindukan. Membuka mata untuk mengerti lebih jelas tentang tiap deru dan desah yang mampu kutangkap lalu kusimpan dalam hati.
Pertemuan yang singkat dan membekaskan persahabatan yang selamanya bagiku dan dia. Beberapa menit yang berlangsung hingga kini. Kehadirannya jadi arti penting bagi tiap hembusan napasku dan kebersamaan aku dan dia adalah harta yang tak mungkin digali lagi. Seolah aku jadi pecandu,ya candu akan senyumny, tawanya, leluconnya yang tak lucu, tingkahnya, kebodohan, kebaikan hatinya yang terdalam dan hatinya.
Semua orang bilang padaku, tubuh tak dapat mewakili jiwa dan jiwa tak dapat dinilai dari gerak dan gerik. Namun bagiku, keindahan jiwanya terpancar dari gerak lugunya dan gerik bodohnya. Bagiku ia ciptaan yang sempurna. Dihembuskan saat fajar, di tengah lembah yang bernyanyi, dibentuk dari senja di tengah
Malam tak pernah seindah ini. Bintang bagai berpesta di langit malam yang cerah gemilang, tak berselaput,tak berduka. Awan-awan putih yang semarak memayungi piknik malam kami. Dengan coklat panas dan ribuan permen lelehan,marshmelow. Aku dan dia duduk di atas selembar kain indah yang kurajut semalaman demi terciptanya piknik kami yang pertama. Tawanya menggelegar tiap kali ia mendengar ceritaku, dan jantungku melompat-lompat tak karuan. Ke kiri,kanan berbalik,berputar dan mengocok-ocok perutku. Rasa yang sejak pertama membekas kini membual-bual keluar beriringan dengan tiap kata dari bibirku. Berusaha mendapat potret wajah bahagianya.
Tawanya reda dan keheningan membalut kami. Angin malam berhembus pelan, menyayat-nyayat bulu romaku. Menggigil kecil yang tertahan di bibir. Kupandangi dia dasri ujung ekor mataku. Matanya memandang ke atas, seperti mencari dan berdoa. Bibirnya bergerak teratur sesuai desah napasnya yang sayup-sayup kudengar pelan.
Tangannya menunjuk ke atas, bergerak ke kiri dan kanan, seolah menggapai sesuatu.
“cepat buat permintaan!” serunya seketika. Kontan tanganku mengikuti tangannya. Tertunduk di dada, memejamkan mata dan berharap dengan penuh mimpi atas permintaan yang kuucapkan. Aku selesai lebih dulu. Ia menyusul. Lalu menyeringai ke arahku. Menunjukkan barisan gigi putihnya yang berkialauan.
“tentang apa?” tanyanya masih dalam tatapan lurus padaku.
Aku menggeleng pelan dan mengedipkan mata. “rahasia”
“kalau aku buat permohonan yang benar-benar penting.” Ia diam lalu memajukan mulutnya, dengan manja minta disuapkan permen lelehan,marshmelow. “dulu aku tak percaya ini, tapi kini ya aku percaya bahwa doa seperti apapun, dimanapun jika diucapkan dengan keyakinan dan harapan akan terwujud,entah cepat atau lambat. Sadar ataupun tidak. Ya?”
Aku mengangguk, terkagum mendengarnya. Sederhana namun bermakna ribuan bahkan jutaan. Luapan rasa itu kini telah membanjiriku, siap menenggelamkanku. Aku tidak siap berada dalam suasana seintens ini dengannya. Takut aku akan tenggelam dan tak bisa mengikuti arus, lalu mati di dasar.
Dia berbaring di pangkuanku lalu bola matanya terpicing memandang langit yang terus berjalan di atas kami.
“setahun yang lalu, kekasih hatiku mati di pangkuannku saat bulan tersenyum seperti ini… aku menangis dan mengadu pada pagi, namun tak ada yang dating menyelamatkan kekasih hatiku. Ia tetap pergi dan menderita. Meninggalkan aku yang berbalik menderita kesakitan selepas kepergiannya. Sekarang aku tahu dan sadar aku yang membunhnya,dengan kurangnya harapan dalam hati. Kini aku belajar mencintai dengan benar…” lalu diam. Aku berharap ia tak bisa merasakan jiwaku yang meleleh sampai ke ujung kaki, dan hatiku yang bersinar-sinar saat ia mnegucapkan ribuan huruf itu. Aku harap ia sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“kau yan rajut ini?” ia membaui kain yang kami duduki dan seolah ikut merasakan keharumannya aku tersenyum, mengiyakan. Ia tetap membauinya dan membuat gerakku makin tak karuan. Aku tersnyum sendiri, lalu memandang dahinya. Ah, tolong jangan hentikan malam. Biarlah kelabu ini terus menyembunyikan kami,berdua berpautan.
“kau tahu apa permohonanku?”
“tidak”
“kau mau tahu?”
“kalau kau mau, aku mau mendengarnya.”
“apapun itu?”
“ya…” kuusapkan tanganku pada helai rambutnya yang tersapu angin dingin. Dan merangkulkan jemari di telinganya yang membeku malam ini.
“aku memohon sebuah maaf dari sebuah kesetiaan,kekaguman dan kerinduan.” Ia idam dan duduk tegak. Dekat dengan wajahku, hingga aku dapat merasakan napasnya yang cepat dan pendek-pendek itu
“…”
“aku membaca lukisanmu dan mencoba mengertinya. Aku menikmati bunga yang kau petik setiap pagi dalam tidurku yang lelap. Dan aku bahagia dalam tiap gelak tawamu yang membuatku terpingkal-pingkal… sampai aku tiba pada suatu persimpangan jalan yang besar. Dan harus memilih, tepat di saat aku mulai mengerti lukisanmu,bungamu, dan gelak tawamu. Aku memilih untuk membiarkan semua meleleh dalam realita dan cinta. Campai akhirnya melahirkanlah kita malam ini. Yang bercinta dalam bisu dan tekateki satu sama lain. Apapun itu maafkan aku… karena ini malam, adalah bulan terkhir yang kita nikmati bersama, tawa terakhir yang kau dan aku rasai dari jarak yang seintim ini. Dan permen lelehan terakhir yang kubiarkan larut dalam coklat panas. Sudah kurasai kain rajutanmu. Dan selamnya itu akan jadi bau yang menghantarku tidur. Membawa aku bermimpi dan bahagia lagi, seperti mala mini. Tapi kini aku harus berpamitan, melepas raga jauh dari jiwamu dan rupamu.
Sela….
Keadaan hening, kaku, tegang dan mati. Ia mencintaiku. Sama seperti, sebanyak hati bunga yang kuberikan dan sebesar tawa yang kurangkai. Tapi I a berpamita,hendak kemana?
“…”
“janagn diam, jangan marah apalagi menangis… aku bukan ciptaan yang kau katakana sempurna seperti dalam lukisan dewi malammu. Aku hanya kumbang yang bersuara fals yang mencoba menghiasi hidupmu…” tangannya menyentuh seluruh kulit mukaku. Dan basah oleh lelehan rasa yang mencari di pipi. Aku tersedu, hancur sebelum di bentuk.
“kemana?” harus kukumpulkan nyawaku untuk setidaknya mencoba menahannya pergi.
“kesana…”ia mnunjuk ke langit malam yang seolah berhenti dan menatap kami sendu,
“aku harus pulang sayang…”ia ciumi aku berulang kali pada dahi, mata,hidung,pipi dan ia ulaskan pada bibirku sekali.
“aku ingin ikut…”
“jangan. Aku harus mengejar kekasihku yang dulu. Meminta maaf. Dan kau, kau harus mengejar kekasihmu di sini.” Tangannya menunjuk ke seluruh permukaan udara yang memutari kami. Tubuhku lunglai, tak bertenaga.
“kumohon maafkan aku, telah menarikmu dalam duniaku yang sempit tanpa warna. Kaulah warna yang bersinar bagi hari-hariku yang pendek, dan kaulah matahari pagiku. Yang hangat menyambutku dalam hidupku yang kelam…selamat tidur,sayang.”dan ia berbaring di pangkuanku. Menutup mata, mengatupkan senyum, membisu…
Aku merajuk masih kepada malam. Berteriak-teriak sendirian dalam kesunyian…mengutuk mengapa aku tak memohonkannya untuk tinggal. Aku memaafkan kepergiannya, namun aku tak bisa memaafkan diriku. Karena aku tak berdoa dan memohon bagi dirinya
Yang kupinta:
“aku ingin bahagia dengannya, walau hanya sesaat…”
Betapa egoisnya aku. Seandainya aku tahu kau hendak pergi, aku akan memohon :
“aku ingin bahagia dengannya,selamanya…bersama selamanya .”
Dan angin berhembus sekali sampai fajar menghantar aku kembali ke tepian. Mati tenggelam di dasar cinta yang abstrak…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar