Ini sebuah ulasan dari seorang amatiran yang menggandrungi musik-musik eksperimental. Tanpa bermaksud mengkategorikan band tersebut dalam aliran musik apapun, penulis merasa tergugah dengan kerasnya permainan musik mereka. Nada-nada yang dinamis berpadu dengan kata-kata puitis. Itulah sepenggal kata yang keluar begitu selesai menyaksikan pertunjukan mereka. Meminjam kata dari seorang teman (@teebravo) penampilan mereka “membius sangat”.
Mereka memang sempat bisu dalam berkarya lalu memutuskan untuk kembali menyuarakan gairah bermusiknya. Tahun 2011 bisa dibilang sebagai tahun kembalinya semangat bermusik Bungabel. Penulis sempat beberapa kali mengikuti pertunjukan mereka di beberapa tempat. Baru-baru ini, Bungabel kembali membius penonton Borneo Beerhouse dalam launcing Primitif Zine Vol.005.
Mereka membuka pertunjukan dengan gebukan drum yang intens oleh Dimas Wahyu, di sudut temaram panggung malam itu. Gitar dan bass bersahut-sahutan menemani melodi dari keyboard mini Indro. Kemudian masuk vokal Sari Yuningsih yang menyayat-nyayat telinga pendengarnya. Penonton terhipnotis memasuki lagu “Lelaki”. Sepenggal bait pembukanya berbunyi :
“Lelaki yang sanggup menantang matahari/bukan berteduh/Lelaki yang kuat menahan angin/bukan terbang bersama angin/Lelaki yang sanggup mengusir kesepian/bukan tenggelam dalam sepi/"
Kata-kata puitis yang dirangkai oleh Ari Ketjak menghadirkan pertunjukan multi-dimensi. Tidak ketinggalan ketukan-ketukan yang magis oleh Fadly pada Bass, memberi ruang ekstra bagi penonton yang hadir dalam ruangan kotak kecil malam itu. keajaiban mereka tidak berhenti pada lengkingan-lengkingan Sari di lagu pertama, menyusul di lagu berikutnya, efek gitar dari Gemi mengalirkan perasaan “kesetrum” di telinga penulis. Luar biasa.
Penonton yang hadir malam itu terpaku pada panggung berisikan lima musisi yang menggila. Mata rasanya tidak mau berpindah dari tempat itu biarpun keringat membanjir. Ruang itu seketika terasa pekat, bukan karena pencahayaan yang temaram tetapi Bungabel menghadirkan suasan “gelap” yang menembus cahaya.
Kata-kata yang indah rasanya tersedot habis ke dalam ruang Bungabel. Penulis harus jujur telah kehilangan kata-kata untuk bisa menggambarkan bagaimana perjalanan 45 menit mereka berlangsung. Waktu seperti berlari. Diburu hentakan-hentakan dari musik Bungabel. Syahdu pelan mengikuti di balik “Lagu Sungai”. Sampai habis kami dibawa ke lagu terakhir, “Melayang”. Dan kami mabuk suara-suara bising yang harmonis di telinga.
Ketika mereka turun dari panggung dan penulis harus percaya bahwa ruang waktu Bungabel telah habis masanya, mereka kembali menjadi sosok anak-anak muda yang santai. Senyum melingkar sempurna di wajah mereka dan menyapa penulis. Lima orang yang di panggung tadi rasanya adalah sosok yang berbeda dengan lima orang yang duduk bersama penulis. Mereka tertawa dan bercerita soal mimpi yang ingin Bungabel bermusik lebih dari bermain musik. Sebuah kebutralan musik yang manis, Bungabel.