Surat untuk dia
Sore ini aku terbangun . di tengah hujan deras di langit sore. Hujan memanggil-manggil namaku. Dan aku memandang ke sana, mencari ke mana-mana. Tapi dia tidak ada. Lalu kulangkahkan kakiku untuk mulai menemukannya.
Anak tangga berbunyi tiap kali aku melangkah, menuruninya. Lantai yang tersapu bersih, menampakkan bayangan wajahku yang suram menghiasi pemandanganku. Kosong. Tak ada siapapun, tak ada yang bergerak. Semua diam menatap balik padaku tanpa perasaan.
Memanggl-manggil namamu aku dalam kesunyian, tapi hanya sepi yang memantul balik ke arahku. Aku kantongi sepi, tapi suasana tak berubah. Jadi kulepaskan lagi sepi.
Di luar angin menderu-deru. Langit yang harusnya berseri kemerahan, pucat kelabu seperti kehabisan nyawa. Petir dan gelegarnya saling memanggil-manggil di balik awan hitam, dan aku berdiri di balik jendela besar yang membatasi aku dan langit.
Kau tidak ada dimana pun. Dan hatiku makin gelisah. Benarlah kata orang kita akan selalu merindukan tempat dimana dulu kita hidup dan bergantung. Tempat yang kita diami dulu saat tubuhku belum mampu bergerak, sendi dan otot belum menyatau, bahkan indera masih lumpuh. Dulu saat kita berbaring di sana maka kita aman. Kita makan apa yang dia makan, kita minum apa yang dia minum, dan kita habiskan darahnya sampai kita bisa lihat cahaya.
Tak heran jika sekarang aku masih mencari ruang itu. Walau aku tahu aku takkan mungkin kembali ke sana. Namun perlindunganku, rasa aman dan nyamanku bersumber di sana.
Langit masih hitam, gelegar pertir masih berseru dan hujan… masih saja asikk dengan iramanya sendiri. jadi kuputuskan untuk di sini, diam. Menunggu sampai kau datang. Dan membiarkan kesepian menemaniku smpai pintu itu terbuka dank kau hadir lagi.