Dan seandainya saja semua orang puny uang untuk bisa membeli satu hari bagi hidup mereka. Masalahnya adalah selama ini mereka tidak bertahan dengan uang, lebih kepada insting dna nyali saja. Tengok saja bagaimana beraninya bocah usia 3 setengah tahun turun ke jalanan ramai. Melintasi jalanan dnegan kaki telanjang, saat lampu hijau menyala bergegas naik ke pinggiran sebelum terkena serundukan kendaraan bermotor yang tak punya mata. Hanya untuk mendapat speuluh ribu rupiah atau syukur-syukur lebih. Mungkin kita melihat mereka tertawa dengan yang lain. Berlarian Nampak seperti tak punya beban. Tapi siapa yang tahu,kalau pikiran mereka telah lebih kritis dan banyak daripada gizi yng bisa mereka masukan dalam tubuh. Bagaimana masyarakat kita bisa menjadi creator kalau dimulai dari generasi muda saja sudah hidup susah tanpa harapan.
Saya Cuma bisa menghela napas sangat panjang jika memandanginya. Masalah ini tak kenal unjung dan pangkal. Cuma bisa berputa dan dim-diam menjalar lalu jadilah karakteristik. Aih aib nian bangsa ini. Meredeka sudah lebih dari setengah abad, tapi manusinya belum bisa cari makan dengan cara yang layak. Coba piker, bagaimana dengan keluarga mereka di rumah. Siapa yang tahu uang yang mereka hasilkan masuk ke ksaku siapa. Untung kalau bisa buat beli makan ayah dna ibunya, kalau dipakai berjudi oleh oknum-oknum tak beradat,mau bagaimana coba? Menangis darah pun rasanya tidak mampu meluapkan kesesakan rasanya.
Pernah memperhaikan tubuh-tubuh mereka. Selain kurus, dekil, dan hitam apa lagi yang bisa digambarkan. Perhatikan dengan seksama, dan anda akan terkejut. Ada bekas lebam dan luka-luka. Jangan diterka ulah siapa. Akan jadi makin pilu hati ini memikirkannya.
Kalau anda mulai merasa bingung siapa yang jadi objek di sini, tanyakan pada diri anda, kemana anda habiskan uang anda setiap harinya. Restoran bintang 5 dengan harga mencekik leher atau barang-barang yang masa depannya hanya jadi rongsokkan saja. Saya sedang tidak bicara soal uang, tpi perhatian anda. Koreksi saya jika saya bicara terlalu salah dan tidak tepat. Tapi janganm-jangan andalah orang-orang tak beradat yang melukai bocah-bocah hitam itu. Ya, saya dan anda lah orangnya. Siapa yang tahu darimana anak-anak itu berasal. Bisa saja kan mereka dari keluarga yang ayah atau ibunya anda pecat karena alasan yang tidak sebanding dengan pekerjaan mereka. Atau bisa juga mereka tetangga anda, yang sama-sama terkena banjir. Bedanya anda punya uang lebih saat itu untuk membenahi kehidupan anda. Dan mereka, kelihatannya tidak. Dan jadilah mereka orang-orang tunawisma yang sering anda lihat di jalanan, yang sedang kita bicarakan sekarang.
Sekali lagi ini bukan tentang nominal dalam mata uang manapun. Saya membicarakn soal hati.